/ Menjadi Penyair

Pengakuan Mengapa Menjadi Penyair Sugiyarto Darmawan

N0. 029
Pengakuan Mengapa Menjadi Penyair
Sugiyarto Darmawan
Menulis bagiku tak lepas dari kegemaran membaca. .Waktu aku masih kecil, ayahku ,
perangkat desa, sering membawa pulang koran. Seingatku ada Suara Karya, Berita Buana, Kartika dan kadang majalah Krida, yang diterbitkan Pemprov Jateng., Juga majalah berbahasa Jawa, Panyebar Semangat.
Dari kegemaran membaca itulah lahir keinginan untuk menulis. Seperti remaja pada umumnya, keinginan menulis Itu aku salurkan lewat buku harian.
Membaca dan menulis akhirnya menjadi hoby dan mengantarkanku masuk fakultas sastra UNS, mengambil program sastra Jawa. Di sini kemampuaku menulis mulai diasah dengan mengikuti kursus jurnalistik dan menjadi awak redaksi di majalah kampus fakultas sastra UNS, KALPADRUMA.
Semangat menulis makin menggelora setelah bisa membeli mesin tik portabel merk Kofa seharga 90.000, dan kamera merk Canon. Aku menulis berbagai jenis tulisan, mulai puisi, cerpen, esai, resensi buku, juga laporan jurnalistik. Tulisan pertamaku berupa cerpen dimuat di koran Dharma Nyata ,(Solo) tahun 1984, dengan honor Rp. 5.000.
Melihat' ada peluang menghasilkan uang, aku makin semangat mengirimkan berbagai jenis tulisan ke berbagai koran dan majalah. Tulisan dan juga foto jurnalistikku pernah dimuat di : Dharma Nyata, Parikesit, Pos Kita, Bengawan Pos, Solo Pos (Solo), Minggu Pagi, Djaka Lodhang, Berita Nasional ( Jogyakarta), Jaya Baya, Panyebar Semangat ( Surabaya), Suara Merdeka, Minggu Ini, Cempaka, Kartika (Semarang), Pikiran Rakyat (Bandung,), Kompas, Suara Karya, Simponi, Mutiara, The Jakarta Post, kantor berita Antara, Suara Pembaruan , Tempo (Jakarta).
Dari kegemaran menulis itulah aku berkenalan dengan Wiji Thukul, penyair muda Solo yang kemudian hari hilang di penghujung kekuasaan Orde Baru. Penyair yang sering mengamen dengan puisi puisinya ini jadi temanku dari kalangan penulis yang paling dekat denganku. Bersama Thukul dan Keliek Eswe aku membuat antologi guritan ( puisi Jawa) di bawah judul Guritan Iki Mung Pengin Kandha.(stensilan, diterbitkan Taman Budaya Surakarta, 1987). Puisi puisi awalku ikut menghiasi antologi Kemah Budaya yang diterbitkan bersama teman teman dari komunitas Kharisma Budaya Surakarta.
Atas prakarsa Wiji Thukul, cerpen cerpenku dikumpulkan dan diterbitkan di bawah judul Kerinduan ( diterbitkan Sanggar Suka Banjir ,Solo, 1997). Temanku yang satu ini juga mengelola dan menerbitkan buletin Ajang, dengan ciri tulisan tulisannya yang kritis pada kekuasaan waktu Itu. Aku beberapa kali menyumbangkan tulisan di buletin Ini.Ketika diundang Goethe Institut untuk membacakan puisinya, aku diajak Thukul. Satu hal yang aku ingat, sewaktu Thukul membacakan puisinya Peringatan, gedung Kedutaan Besar Jerman tempat pembacaan puisi itu, bergemuruh dengan teriakan..lawaaannn...( kalimat terakhir dari puisi Peringatan). Bayangkan itu tahun 1988, kuat kuatnya kekuasaan Orde Baru.
Aku juga ikut menulis di antologi puisi Suara Sebrang sini yang digagas Wiji Thukul bersama teman teman seniman dari Kelompok Tanggap Solo. Pembacaan antologi puisi ini mungkin paling berkesan bagiku, karena diskusi yang diadakan setelah pembacaan puisi dibubarkan aparat keamanan. Kemudian hari aku diberi tahu Wahyu Susilo (adik Wiji Thukul), bahwa Hanif Saka Urip dari teater Getar, Salatiga yang puisinya juga ada di antologi Suara Sebrang Sini, adalah.nama pena Hanif Dzakari, yang kemudian hari jadi Menteri Tenaga Kerja di kabinet presiden Joko Widodo.
Tahun 1998 , bulan Oktober, saat yang paling tidak bisa aku lupakan. Waktu itu hari Minggu, aku main volly di desa tetangga. Pulang sekitar jam 10, aku diberi tahu bahwa tadi ada sejumlah orang mengaku dari Kodam mencariku. Aku langsung paham, itu pasti ada hubungannya dengan Wiji Thukul. Saat itu, setelah peristiwa 27 Juli, orang orang ditengarai ada hubungan dengan PRD ( Partai Rakyat Demokratik), sedang diburu. Wiji Thukul adalah ketua JAKKER (Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyatk), sayap kesenian PRD. Saya tahu saat itu Wiji Thukul ada di Kalimantan, karena seminggu sebelum rumahku digerebek aparat keamanan, dia kirim surat dari Kalimantan. Surat itu akhirnya aku musnahkan, karena bila ketahuan aparat keamanan urusannya bisa panjang. Aku bisa didakwa melindungi buron, bisa dipidana.
Tahun 1990, aku jadi perangkat desa. Tapi kegiatan menulis terus berjalan. Saat itu begitu banyak koran dan majalah sehingga bisa leluasa mengirimkan tulisan. Tulisan terakhirku di koran berupa guritan.(puisi Jawa) dimuat di Solo Pos tahun 2011. Selain itu juga ikut berkiprah bersama teman teman penulis yang tergabung dalam Omah Tulis Sukoharjo. Walau dalam kesederhanaan dan keterbatasan bisa menerbitkan antologi cerkak Kangen, antologi puisi : Narasi 15 Juli 1, Narasi 15 Juli 2 (untuk menyambut HUT Kabupaten Sukoharjo tahun 2020 dan 2021), Diksi Desember ( untuk menyambut hari Ibu 2022).
Zaman berganti. Media massa cetak bertumbangan. Media online hadir jadi raja informasi baru. Mau tak mau para penulis juga harus mengikuti. Aku sendiri belum setahun mencoba berkiprah di dunia penulisan online.
Luar biasa memang, sekarang begitu banyak group group puisi di Facebook, dari yang dikelola penyair terkenal yang sudah berkibar namanya di zaman media cetak, sampai yang digerakkan penyair penyair muda milenial.
Menulis puisi di group Facebook memang tak mendapatkan honor, namun ada kepuasaan bila ada yang mengkomentari atau memberi jempol. Dan anehnya walau tak ada honor, aku lebih produktif menulis di era ini. Aku begitu bergairah ikut group group sastra Facebook dan posting puisi. Di setiap akhir puisi aku biasanya menuliskan : Sugiarto B Darmawan, petani, perangkat desa, penyair kambuhan, tinggal di Tegalmade Mojolaban Sukoharjo.
logo-lumbung-puisi-11