/ Menjadi Penyair

Menjadi Penyair Sebagai Sarana Untuk Mengungkapkan Suara Hati, Heru Patria

No. 023
Heru Patria

Menjadi Penyair Sebagai Sarana Untuk Mengungkapkan Suara Hati

Berbeda dengan beragam pengakuan yang telah diungkapkan teman tema sebelumnya, terjerumusnya saya ke dunia penyair bukanlah suatu kesengajaan. Bermula ketika masa SD dua guru saya yaitu almarhum Moedjinah dan Pak Toha, selalu memaksa saya untuk ikut lomba baca puisi di tingkat kecamatan. Dari seringnya saya baca puisi itu, lama kelamaan saya jadi menyukainya.
Sekitar tahun 1984, saya mulai menulis puisi dan memberanikan diri mengirimnya ke media lokal. Padahal untuk mengetiknya saya harus pinjam di kantor TU sekolahan, yang suara ketukannya lumayan membisingkan.
Merasakan enaknya dapat honor (meskipun kecil) kebiasaan menulis puisi berlanjut hingga SMA. Nah, karena semasa sekolah saya termasuk anak introvert (pendiam) jadilah menulis puisi itu sebagai bentuk pelarian untuk mengungkapkan perasaan. Utamanya rasa suka pada seorang gadis satu sekolah. Hampir tiap hari saya tulis puisi tentangnya. Hanya sesekali saja saya mengirimnya ke media. Tahu kebiasaanku menulis puisi ini, akhirnya aku dipercaya jadi redaktur majalah sekolah.
Setamat SMA tahun 1990, saya mulai jarang menulis puisi. Saya beralih ke cerpen yang saat itu lagi booming di media. Hanya sesekali saya menulis puisi, itupun hanya aku simpan dalam diary. Pergaulanku dengan banyak organisasi membuat saya jadi sering terinspirasi untuk menulis puisi bertema sosial politik. Kejenuhan ku pada kondisi saat itu membuatku sering menumpahkan suara hati (protes) lewat puisi. Bahkan aku pernah berorasi dengan baca puisi dalam sebuah aksi demonstrasi buruh pabrik di kawasan Surabaya.
Terlebih pada masa reformasi, saya jadi orator panggilan untuk baca puisi kritik di berbagai kesempatan. Imbalannya sebungkus nasi dan uang transport yang tak lebih dari 1000 rupiah.
Setelah itu saya lama vakum berpuisi. Saya lebih menekuni dunia novel yang lebih menghasilkan. Namun meski demikian saya masih sering menyelipkan sebuah puisi dalam novel. Terutama ketika menulis novel romance untuk remaja.
Baru ketika saya resmi menjadi seorang guru, jiwa kepenyairan saya kembali bangkit. Saya suka melatih murid murid berpuisi baik untuk lomba maupun sekadar bikin acara di lembaga sekolah. Lewat berbagai organisasi literasi yang ada di Blitar, saya terus bergiat mengungkapkan suara hati dengan berpuisi. Secara berkala saya dan para pegiat lain menggelar acara baca dan tulis puisi di kantor dinas perpustakaan dan arsip Kab Blitar serta di Perpustakaan Nasional Bung Karno.
Karena berpuisi mampu mewakili suara hati dalam menghadapi berbagai persoalan hidup dan sosial, sekarang semakin banyak puisi saya yang dipublikasikan di berbagai media cetak dan online. Puisi saya juga termuat dalam berbagai antologi bersama, lebih dari 50 buku. Adapun buku puisi saya yang sudah terbit adalah Berita dari Kolong Tol (Intishar, 2017), Senyawa Kopi Sekeping Hati (IA Publisher, 2021), Orasi Anak Negeri (Penerbit LovRinz, 2023).
Bagai saya selain untuk mengungkapkan suara hati, menjadi penyair juga bisa untuk menyuarakan aspirasi sebagai warga negara yang baik. Atau lebih tepatnya menjadi penyair bisa jadi sarana orasi untuk kemajuan ibu Pertiwi. Dengan puisi, protes tidak perlu turun ke jalan. Tapi cukup tulis dan baca puisi yang sekaligus bisa jadi hiburan untuk banyak orang.
Blitar, 31 Maret 2023
logo-lumbung-puisi-8