Pengakuan Menjadi Seorang Penyair, Ence Sumirat
No. 021
Ence Sumirat
Pengakuan Menjadi Seorang Penyair
Ketertarikanku pada sastra(baca:puisi)tidak berlangsung secara ujug-ujug tapi melalui proses dan perjalanan yang cukup panjang.
Awalnya mumet terhadap situasi kehidupan dimana antara das sollen dan das sein tak beriringan baik kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat dengan segala kompleksitasnya yang sudah tentu mempengaruhi psikis seseorang tak terkecuali bagiku(karena aku juga orang kan?).Maka dalam konteks inilah saya menemukan puisi sebagai media relaksasi bagi pencerahan jiwa tanpa kehilangan kekritisan kita terhadap objek yang jadi permasalahannya.Hingga takberlebihan bila (menulis)puisi adalah rumah jiwa yang memberikan kepuasan dan kedamaian.
Dan saya menyadari bahwa kita semua adalah penyair bagi puisinya sendiri adalah aksioma ,terlebih bagi kita teman-teman penyair yang telah menuangkan tulisannya di berbagai media.Dan awal kepenulisanku pada puisi dimulai tahun 1990-an melalui media cetak daerah seperti Media Pembinaan,Bhineka Karya Winaya,Suara Guru dan lain_lain yang terbit di Bandung,disamping juga dimuat koran Pikiran Rakyat,Sabili,Suara Karya.
Walhasil, terkeceburnya saya pada puisi bukan dilandasi keinginan disebut penyair tapi semata sebagai terapi menemukan tempat rindu mumpuni yang bisa mengobati kegelisahan sekaligus memberikan katarsis bagi sesama atau pembaca.Dalam konteks inilah kita sebagai pasien sekaligus dokter yang bisa mengobati penyakit dengan kata-kata(baca:diksi)yang menyejukan hati.Apalagi zaman sekarang kalau berobat ke psikiater memakan kocek tak sedikit.
Salam puitis signifikan
Cianjur 31 Maret 2023
Ketertarikanku pada sastra(baca:puisi)tidak berlangsung secara ujug-ujug tapi melalui proses dan perjalanan yang cukup panjang.
Awalnya mumet terhadap situasi kehidupan dimana antara das sollen dan das sein tak beriringan baik kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat dengan segala kompleksitasnya yang sudah tentu mempengaruhi psikis seseorang tak terkecuali bagiku(karena aku juga orang kan?).Maka dalam konteks inilah saya menemukan puisi sebagai media relaksasi bagi pencerahan jiwa tanpa kehilangan kekritisan kita terhadap objek yang jadi permasalahannya.Hingga takberlebihan bila (menulis)puisi adalah rumah jiwa yang memberikan kepuasan dan kedamaian.
Dan saya menyadari bahwa kita semua adalah penyair bagi puisinya sendiri adalah aksioma ,terlebih bagi kita teman-teman penyair yang telah menuangkan tulisannya di berbagai media.Dan awal kepenulisanku pada puisi dimulai tahun 1990-an melalui media cetak daerah seperti Media Pembinaan,Bhineka Karya Winaya,Suara Guru dan lain_lain yang terbit di Bandung,disamping juga dimuat koran Pikiran Rakyat,Sabili,Suara Karya.
Walhasil, terkeceburnya saya pada puisi bukan dilandasi keinginan disebut penyair tapi semata sebagai terapi menemukan tempat rindu mumpuni yang bisa mengobati kegelisahan sekaligus memberikan katarsis bagi sesama atau pembaca.Dalam konteks inilah kita sebagai pasien sekaligus dokter yang bisa mengobati penyakit dengan kata-kata(baca:diksi)yang menyejukan hati.Apalagi zaman sekarang kalau berobat ke psikiater memakan kocek tak sedikit.
Salam puitis signifikan
Cianjur 31 Maret 2023
Subscribe to Literanesia
Get the latest posts delivered right to your inbox