PAGI YANG INDAH DI TERAS RUMAH oleh Jauhari Zailani
PAGI YANG INDAH DI TERAS RUMAH
oleh Jauhari Zailani
+++
Di teras menunggu dan menyaksikan matahari terbit bersama perempuan yang indah. Menikmati hangatnya sinar mentari pagi bersama Perempuan terkasih. Perempuan yang sudah 38 tahun bersamaku. Perempuan yang sudah 34 hidup bersama di rumah ini.
Pagi ini aku membuka pintu, langit di ufuk timur kuning menghiasi langit. Siluet matahari hampir menciptakan merah membara. Awan hitam yang berarak tak mampu menghalangi cerahnya pagi ini. Di Teras rumah, aku menyaksikan kuasa ilahi yang menciptakan terang dengan pelitanya. Di Teras rumah, aku mensyukuri nikmat ini.
Menikmati sinar mentari pagi ini, terlintas kenangan pada Rumah ini, yang sudah tiga puluh enam tahun kami huni. Rumah kredit dit hingga 15 tahun. Tak mudah perjuangkan rumah ini. 15 tahun mengangsur, pada awalnya amat tersendat, macet cet. Kenangan yang tidak bisa aku lupakan, ketika di pintu rumah, ada tempelan bertuliskan "Rumah ini dalam pengawasan BTN". Sempat mengalami stress.
Kalau aku mengenang kisah memiliki rumah ini, hanya ingin menunjukkan bahwa aku sedang bersyukur. Karena sang Penguasa telah menuntun kami untuk memutuskan dan memilih rumah ini sebagai hunian kami. Pilihan pertama dan terakhir.
Dan, pilihan itu kami syukuri. Karena setiap hari kami mengagumi (mensyukuri) pilihan kami saat itu, saat kami masih membangun rumah tangga. Bisa aku sebutkan satu saja, rumah kami menghadap timur. Artinya menghadap ke arah matahari terbit.
Sudah sejak lama aku mengagumi sinar surya yang selalu memancarkan cahayanya. Lebih kagum lagi pada sang pencipta "matahari sebagai pelita yang nyalanya terang. Hingga siang hari manusia dapat berkegiatan". Terlebih pagi ini, syukurku bertambah-tambah.
Di saat dunia dihebohkan oleh kehadiran Corona, Ibu Tan ngomong di TV "berjemur di pagi hari dapat menciptakan (menambah) imun tubuh...". Dan rasa syukurku (kami) kian bertambah. Ketika kami menikmati indahnya semburat awan di ufuk timur seperti saat ini. Ketika sinar matahari memancar di ruang tamu. Dan ketika kami berjemur di pagi hari.
Sejak pukul tujuh sinar matahari sudah menghangatkan pagi. Menghangatkan tubuh. Kian beranjak siang kian nikmat. Jam delapan jam sembilan jam sepuluh, kami menikmati kehangatan kasih sayang ilahi dengan menciptakan "Pelita yang raksasa". Bukan saja menerangi, tetapi menyalurkan dan menumbuhkan kehidupan. Kehidupan di bumi. Kehidupan di rumah kami.
Sudah beberapa hari ini, kegiatan berjemur kian intensif. Mengamalkan seruan para pakar kesehatan bahwa "sinar matahari" pagi dapat mengobati (mencegah) penyakit (corona). Tentu saja sembari bersyukur atas ciptaan sang Maha kuasa yang menciptakan "pelita raksasa". Pelita yang menghangatkan tubuh manusia. Pelita yang menebarkan dan memancarkan kasih sayang pada seluruh alam.
Pagi ini, aku amat menikmati kasih sayang itu. Pagi ini aku menikmati hangat dan kehangatan pelita itu. pagi ini aku menikmati sinar mentari hingga ruang tamu. Kursi dan meja di ruang tamu dihangatkan. Sinar mentari pagi menghangatkan beberapa tanaman di atas meja. Tanaman yang aku pelihara dalam pot kecil. Tanpa tanah, tanaman dengan media air. Seolah mereka tersenyum dan bergembira bersamaku menikmati sinar mentari pagi.
+++
Melengkapi indahnya pagi ini, seorang perempuan berceloteh tentang tanaman pot yang tergantung, tanaman yang di atas pot. Buah markisa yang menyejukkan rumah dan pemandangan kami. Ia istriku menikmati indahnya hijaunya pohon kelengkeng yang tumbuh di luar halaman rumah. Dua butir ia petik dari pohon. Dua butir ia sesap sesap sembari berceloteh tentang kasih sayang Allah.
Dua butir biji kelengkeng ia geletakkan di atas meja yang ada di depanku. Sembari tersenyum ceria. Pagi yang indah. Pagi yang indah di teras rumah. Pagi yang indah bersama perempuan idamanku. Pagi yang indah bersama matahari pagi, bersama istriku di teras rumah kami.
+++
Bandar Lampung, 5 April 2020
Subscribe to Literanesia
Get the latest posts delivered right to your inbox