/ Cerpen

Bangau Menclok di Punggung Gajah, Rg Bagus Warsono

Bangau 'Menclok di Punggung Gajah,
Rg Bagus Warsono

Dengan tertawa dan bernyanyi-nyanyi seekor bangau menclok di punggung gajah. Kawan-kawannya mendongak kagum. Wah asyik benar berada di punggung gajah. Maka berterbangan bangau yang lain untuk hinggap di punggung gajah yang lain. Sehingga tampak setiap gajah dipunggunya keliahatan burung bangau sedang bernyanyi.
Bangau slalu dalam pencarian makanan. Tempat yang subur dan air penuh ikan adalah daerah yang slalu di kunjungi. Ia terbang ribuan kilometer untuk mencari makanan bersama-sama komunitasnya. Berhari-hari sampai berbulan-bulan hijrah menempati daerah-daerah yang kaya makanan,.
Danau yang tampak tenang di kaki gunung itu kian pasang airnya. Ikan-ikan kecil semakin jarang. Keadaan ini membuat kawanan bangau segera hijrah ke utara di rawa-rawa dan pesawahan petani yang menanti ikan-ikan kecil yang gembira akan datangnya hujan.
Tampak bangau-bangau yang hinggap di punggung gajah tak peduli dengan kawan-kawannya yang sekelompok-demi sekelompok meninggalkan lembah itu. Ia tampak asyik dengan kutu-kutu yang menempel di gajah. Gajah pun senang mereka mendapatkan teman, apalagi membantu membersihkan badannya dan menghilangkan rasa gatal di punggungnya.
Beberapa kawan berteriak mengajak terbang, tetapi bangan-bangau yang berada di atas punggung gajah malah tertawa. Ia senang berada di punggung gajah. Apalagi ketika gajah itu mengayunkan belalainya di semak-semak perdu. Hewan kecil berlari. Bangau tertawa seakan ia merasa hewan2 itu takut pada dirinya.
Kemudian ketika ada Kerbau yang menghormat gajah, bangau ikut merundukan kepalanya memberi balasan hormat. Ia semakin pede saja dan betah tinggal di punggung gajah.
Ketika itu mendung mulai menutup awan, suara gemuruh guntur mulai terdengar kemudian keras dengan petir yang menyambar-nyambar. Gajah tampak tenang masuk hutan, sedang bangau-bangau yang berada di punggung gajah kehilangan pandangan. Semua menjadi gelap. Hendak terbang hujan semakin keras, Sementara ribuan kawannya telah pergi sejak siang hari. Arah pun tak tahu, mana utara mana selatan, yang ada hanya dingin dan gelap di punggung gajah dalam hutan.
Demikian penyair-penyair yang bangga berfoto bersama orang besar atau penyair besar yang butuh kepopulairan. Sementara ia sendiri tak memiliki kekuatan dan tak memiliki karya yang bagus. Ia hanya bermodalkan penampilan. Ia kini mati tak dihiraukan teman-temannya. Tak satu pun bangau-bangau mengingat kawannya yang mati tertinggal. Ia mati tak tercatat. Demikian filosofi bangau menclok di punggung gajah, yang menumpang ketenaran gajah tanpa prestasi diri. Kasihan. (rg bagus warsono, 10-12-19)

Dengan tertawa dan bernyanyi-nyanyi seekor bangau menclok di punggung gajah. Kawan-kawannya mendongak kagum. Wah asyik benar berada di punggung gajah. Maka berterbangan bangau yang lain untuk hinggap di punggung gajah yang lain. Sehingga tampak setiap gajah dipunggunya keliahatan burung bangau sedang bernyanyi.
Bangau slalu dalam pencarian makanan. Tempat yang subur dan air penuh ikan adalah daerah yang slalu di kunjungi. Ia terbang ribuan kilometer untuk mencari makanan bersama-sama komunitasnya. Berhari-hari sampai berbulan-bulan hijrah menempati daerah-daerah yang kaya makanan,.
Danau yang tampak tenang di kaki gunung itu kian pasang airnya. Ikan-ikan kecil semakin jarang. Keadaan ini membuat kawanan bangau segera hijrah ke utara di rawa-rawa dan pesawahan petani yang menanti ikan-ikan kecil yang gembira akan datangnya hujan.
Tampak bangau-bangau yang hinggap di punggung gajah tak peduli dengan kawan-kawannya yang sekelompok-demi sekelompok meninggalkan lembah itu. Ia tampak asyik dengan kutu-kutu yang menempel di gajah. Gajah pun senang mereka mendapatkan teman, apalagi membantu membersihkan badannya dan menghilangkan rasa gatal di punggungnya.
Beberapa kawan berteriak mengajak terbang, tetapi bangan-bangau yang berada di atas punggung gajah malah tertawa. Ia senang berada di punggung gajah. Apalagi ketika gajah itu mengayunkan belalainya di semak-semak perdu. Hewan kecil berlari. Bangau tertawa seakan ia merasa hewan2 itu takut pada dirinya.
Kemudian ketika ada Kerbau yang menghormat gajah, bangau ikut merundukan kepalanya memberi balasan hormat. Ia semakin pede saja dan betah tinggal di punggung gajah.
Ketika itu mendung mulai menutup awan, suara gemuruh guntur mulai terdengar kemudian keras dengan petir yang menyambar-nyambar. Gajah tampak tenang masuk hutan, sedang bangau-bangau yang berada di punggung gajah kehilangan pandangan. Semua menjadi gelap. Hendak terbang hujan semakin keras, Sementara ribuan kawannya telah pergi sejak siang hari. Arah pun tak tahu, mana utara mana selatan, yang ada hanya dingin dan gelap di punggung gajah dalam hutan.
Demikian penyair-penyair yang bangga berfoto bersama orang besar atau penyair besar yang butuh kepopulairan. Sementara ia sendiri tak memiliki kekuatan dan tak memiliki karya yang bagus. Ia hanya bermodalkan penampilan. Ia kini mati tak dihiraukan teman-temannya. Tak satu pun bangau-bangau mengingat kawannya yang mati tertinggal. Ia mati tak tercatat. Demikian filosofi bangau menclok di punggung gajah, yang menumpang ketenaran gajah tanpa prestasi diri. Kasihan. (rg bagus warsono, 10-12-19)
Dengan tertawa dan bernyanyi-nyanyi seekor bangau menclok di punggung gajah. Kawan-kawannya mendongak kagum. Wah asyik benar berada di punggung gajah. Maka berterbangan bangau yang lain untuk hinggap di punggung gajah yang lain. Sehingga tampak setiap gajah dipunggunya keliahatan burung bangau sedang bernyanyi.
Bangau slalu dalam pencarian makanan. Tempat yang subur dan air penuh ikan adalah daerah yang slalu di kunjungi. Ia terbang ribuan kilometer untuk mencari makanan bersama-sama komunitasnya. Berhari-hari sampai berbulan-bulan hijrah menempati daerah-daerah yang kaya makanan,.
Danau yang tampak tenang di kaki gunung itu kian pasang airnya. Ikan-ikan kecil semakin jarang. Keadaan ini membuat kawanan bangau segera hijrah ke utara di rawa-rawa dan pesawahan petani yang menanti ikan-ikan kecil yang gembira akan datangnya hujan.
Tampak bangau-bangau yang hinggap di punggung gajah tak peduli dengan kawan-kawannya yang sekelompok-demi sekelompok meninggalkan lembah itu. Ia tampak asyik dengan kutu-kutu yang menempel di gajah. Gajah pun senang mereka mendapatkan teman, apalagi membantu membersihkan badannya dan menghilangkan rasa gatal di punggungnya.
Beberapa kawan berteriak mengajak terbang, tetapi bangan-bangau yang berada di atas punggung gajah malah tertawa. Ia senang berada di punggung gajah. Apalagi ketika gajah itu mengayunkan belalainya di semak-semak perdu. Hewan kecil berlari. Bangau tertawa seakan ia merasa hewan2 itu takut pada dirinya.
Kemudian ketika ada Kerbau yang menghormat gajah, bangau ikut merundukan kepalanya memberi balasan hormat. Ia semakin pede saja dan betah tinggal di punggung gajah.
Ketika itu mendung mulai menutup awan, suara gemuruh guntur mulai terdengar kemudian keras dengan petir yang menyambar-nyambar. Gajah tampak tenang masuk hutan, sedang bangau-bangau yang berada di punggung gajah kehilangan pandangan. Semua menjadi gelap. Hendak terbang hujan semakin keras, Sementara ribuan kawannya telah pergi sejak siang hari. Arah pun tak tahu, mana utara mana selatan, yang ada hanya dingin dan gelap di punggung gajah dalam hutan.
Demikian penyair-penyair yang bangga berfoto bersama orang besar atau penyair besar yang butuh kepopulairan. Sementara ia sendiri tak memiliki kekuatan dan tak memiliki karya yang bagus. Ia hanya bermodalkan penampilan. Ia kini mati tak dihiraukan teman-temannya. Tak satu pun bangau-bangau mengingat kawannya yang mati tertinggal. Ia mati tak tercatat. Demikian filosofi bangau menclok di punggung gajah, yang menumpang ketenaran gajah tanpa prestasi diri. Kasihan. (rg bagus warsono, 10-12-19)