/ puisi

Etsa , Bening Damhuji

**ETSA
Bening Damhuji **

Hujan masih membasahi seluruh kota,
saat langkahku terhenti di depan galeri tua, tempat biasanya kita menuntaskan renjana, sembari menikmati tembang-tembang balada
Namun tak kutemui kau, kekasih
Tiada siapa-siapa pun suara-suara
--sunyi!
Mataku nanap
menelusuri tiap jengkal bangunan limasan itu
Dua botol sarsaparila di meja pojok sudah berlumut, dadaku berdegup--kita belum sempat mereguknya tuntas, ketika aku berterus terang, ada seseorang selain dirimu di hati.
Di dinding teras yang kerap menjadi saksi dari pergumulan cinta, cemburu, dan perseteruan kita,
masih terpajang lukisan saat aku menulis puisi beralaskan punggungmu
Sketsa wajahku tampak tercabik-cabik mengenaskan, sepertinya telah menjadi sasaran amarahmu.
Aku beringsut!
Sebuah etsa dari lempengan logam tergantung di pintu, kuraba permukaannya--berdebu,
"Telah terkubur jasad rindu di kota ini."
Aku terhenyak terbata-bata membaca--jejak luka perpisahan kita.
Dari balik jendela
terlihat langit mulai terang--tetapi aku malah menggigil
Aroma tanah seusai hujan menyeruak, mengingatkanku pada wangi kenangan
seketika siluet senyummu yang lembayung itu
merebak pekat, membentuk bongkahan sedak di dada
Sebutir air mata luruh membasahi punggung jemari, lalu pecah serupa permukaan cermin retak;
"Bila kau kembali, aku telah hilang dari hidupmu!" Kalimat itu terngiang bagai desing belati menghujamku--bertubi-tubi!
Tiba-tiba aku merasa asing sendiri
menanggung sansainya sayatan sesal;
kau benar-benar menepati janji
--menghilang
Sebelum beranjak meninggalkan puing-puing nostalgia, kupandangi etsa yang tergantung di depan pintu itu,
kubayangkan kau memahatnya dengan hati berdarah.
Ingin aku membuangnya. Namun kesadaranku berkata lain;
"Kisah kita telah usai sebelum kemarau memasuki musimnya."
Hujan kembali deras tetapi ia jatuh dari mataku