(114) AKU TAK HAUS DAN LAPAR MAMA Silivester Kiik

(114)
AKU TAK HAUS DAN LAPAR MAMA
Silivester Kiik

Mama, di dapur tua masih membisu tungku dan tumpukan kayu kering
bara api dan gumpalan asapnya mengurai sejumlah kisah
yang tak sempat dituliskan embusan kepada setiap mata yang melihat
untuk mengurainya menjadi sebuah perjalanan yang tak hilang dihadapan waktu.
Mama, lihatlah sulur-sulur cemara, mereka tak pernah haus dan lapar
sebab yang didoakan dari mereka adalah bagaimana jika mereka diberi pengetahuan
untuk tumbuh dan tak ditindas oleh lembaran-lembaran yang tertulis
dari mereka yang suka menciptakan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban.
Mama, aku ingin seperti cemara-cemara itu
melambaikan pelita pengetahuan dan kedamaian
sebab aku tak haus dan lapar; air di sungai masih mengairi darah mimpiku; singkong, jagung, tuak, ubi hutan, sagu masih menghidupi nyawaku.
Mama, aku ingin seperti Albert Einstein yang ditempel di dinding sekolah itu
dan ingin terbang tinggi untuk bermimpi menjadikan air matamu
tak lagi jatuh di tanah yang kering ini
tetapi apakah aku bisa menggapainya?
sedangkan banyak hasil tenunan mama terjual
untuk membayar uang pendidikanku.

Mama, “apakah gaji hasil penjualan puluhan ekor sapi yang di gembala oleh bapak milik Bapak Desa adalah untuk aku bercita-cita?”
Unu si sulung telah putus pendidikannya
Muti yang sedikit pandai pun demikian hasilnya
dan mereka memilih menjadi budak di negeri setumpuk uang
dan aku, “apakah mati menjadi batu di tanah leluhur keramat ini?”

Mama, seruling sunyi yang merdu dikala senja itu
telah kuikat di sobekan baju ini
biarlah menjadi jawaban doaku dari kisah Adam dan Hawa
yang terus terasing di tengah telaga
dan menjerit bersama duri-duri yang menikam telapak kaki ini.

Ya Tuhanku, “aku tak ingin makan dan minum dari tubuh-tubuh yang sombong
seperti di negeriku ini bara apinya lebih panas dengan kebohongan, keangkuhan, kerakusan
dan aku adalah sebatang kayu kering yang mati di dalam pembakaran
dengan menanggung berat kesunyian doa mama
dan pahala pada sebuah diam yang didirikan oleh bapakku.

Tuhan, jika aku terlalu silau memandang rembulan
maka bacalah deritaku di antara putihnya tulang-tulang
jejak-jejak kaki terhitung bersama nyanyian jantung dan rentap
dengan tebaran awan gemawan yang senyap membirukan langit dukaku.

Atambua-Timor-NTT, 10 Maret 2025
Silivester Kiik, adalah seorang guru, penulis, Founder Sahabat Pena Likurai, Komunitas Pensil, Pengurus FTBM Kabupaten Belu, anggota aktif FTBM Propinsi NTT dan penggiat literasi perbatasan. Karyanya antara lain buku antologi puisi dan buku pendidikan: “Amor (2020); DEBU dan Sebuah Pesan yang Belum Sempat Terbaca Oleh Rembulan (2020); Menabur Matahari (2020); Inovasi Pembelajaran Geografi Zaman Now (Suatu Penerapan dalam Model Pembelajaran Outdoor Study, Gaya Belajar, dan Kemampuan Berpikir Spasial Siswa) (2020); Gadis-Gadis Sutra yang Membawa Selendang Melarikan Diri Mencari Kesunyian (2022)” dan beberapa buku lainnya dalam proses penerbitan.
Puisi lainnya mengisi buku antologi bersama nasional dan regional.
Karya-karya berupa opini, jurnal ilmiah, puisi, artikel, dan lainnya juga hadir melalui media cetak maupun online. Pada tahun 2020 terpilih dalam kegiatan Magang Pegiat Literasi Nasional yang diselenggarakan oleh Kemendikbud. Tahun 2023 terpilih dalam Peserta Program Guru Inspirator Tingkat Nasional dari berbagai propinsi.
Saat ini tinggal di Kota Perbatasan RI-RDTL (Atambua-Timor-NTT)..