/ Penyair Antologi Bersama

Sedekah Puisi

Penyair :

  1. RB Pramono, (Jgyakarta)
  2. Akhmad Asyari, (Sumenep)
  3. Raden Rita Maemunah, (Padang)
  4. Gilang Teguh Pambudi, (Jakarta)
  5. Dzul Halim (Kuningan)
  6. M Sapto Yuwono , (Muaro Bungo, Jambi)
  7. Samian Adib, (Bangkalan)
  8. Dwi Wahyu C.D, (Banjarmasin)
  9. Syahriannur Khaidir , (Sampit, Kalteng)
  10. Septiannoor, (Kota Baru, Kalsel)
  11. Asep Nurjamin, (Lumbung Puisi)
  12. Sarwo Darmono,(Lumajang)
    13.Bunergis Maryono, (Bogor)
  13. Iwan Bonick , (Bekasi)
  14. Rg Bagus Warsono, (Indramayu)
  15. Chan Chan Parase, (Medan)
  16. Shah Ri Zan, (Lumbung Puisi)
  17. Siti Khodijah Nasution, (Padang)
  18. Yanu Faoji, (Jakarta)
    20.Cuk Ardi, (Lumbung Puisi)
  19. Alek Brawijaya, (Musi Banyuasin)
  20. Bambang Widiatmoko, (Jogyakarta)
  21. Suhendi RI, (Cikarang, Bekasi)
  22. Harkoni Madura, (Sampang)
  23. MayaAzeezah, (Jakarta)
  24. Riswo Mulyadi, (Banyumas)
  25. Eri Syofratmin, (Muara Bungo)
  26. Zaeni Boli, (Flores)
  27. Agustav Triono, (Banyumas)
  28. Barokah Nawawi, (Pacitan)
  29. Faisal ER , (Sumenep)
  30. Osratus/ Sutarso (Sorong)
  31. Muhammad Affip, (Brebes)
  32. Yudhi Ajha, (Jakarta)
  33. Arie Png Adadua, (Palembang)
  34. Parijem/Diah Natalia, (Jakarta)
  35. Najibul Mahbub, (Pekalongan)
  36. Wadie Maharief, (Jogyakarta)
  37. Sri Sunarti, (Indramayu)
  38. Wanto Tirta, (Banyumas)
    Sedekah Puisi
    Berbagi Keindahan Sajak

Perjumpaan
Seperti menjemput tamu agung, Ramadhan 1439 H, sebuah perjumpaan yang telah setahun lamanya tak bertemu. Adalah persiapan-persiapan menyambutnya dengan kesiapan keimanan dan niat menjalankan perintahNya. Penyair-pennyair kita menulis itu dengan rasa kesucian dan sambutan hangat ramadhan. Kebesaran Islam dan semangat melaksanakan ajaran-ajaran Rasullullah. Penyair kita menuliskan itu dalam perjumpaan dengan Ramadan sebagai ujud kecintaannya kepada Allah sebagai umatnya Rasullullah Muhammad yang diutusnya itu dalam menyambut bulan suci yang penuh rahmat ini. Mereka Gilang Teguh Pambudi, Asep Nurjamin, Siti Khodijah Nasution, sedang Chan-chan Parase memberi catatan bahwa manusia tempat nya dosa. Berikut peuisinya :
Gilang Teguh Pambudi dalam puisinya “ 9 Puisi Pendek Di Atas Tisu”
//...1. MEMBUKA RAMADAN
hujan jam sembilan
menyentuh touchscreen
aku menulis keajaiban Ramadan/.../
7. RAMADAN YANG SELALU PUASA
sebab kamulah Ramadan yang selalu puasa
sampai hujan tak mengatakan, tidak!....//
Asep Nurjamin dalam puinya “ Ikrar Ramadhan”
//....tak ada kebaikan dibaktikan, setiap saat membayangkan penampilan saat hari raya,
agar tampil modis bergaya....//
Siti Khodijah Nasution dalam puisnya “ Raibnya Rakaat Sembahyang”
//Rakaat apa yang terlupakan
hingga kepulan sesaji doa mendahuluinya
'tuk mencecap kata surgawi....//
Chan Chan Parase dalam puisinya “ Deting dari Lubuk Luka” :
//...Aku tidak bisa menjalani puasa jiwa
Maupun taraweh rasa
Bahkan menahan haus dan lapar dada karenamu
Sebab Attahiyatulku sangat tidak wajar kepadamu saudaraku..
Kemudian Wadie Maharief menulis puisinya “ Ya Allah Engkau Jangan Puasa”
//....Ya Allah
Engkau jangan puasa
biar kami saja yang puasa
kalau Engkau puasa
nanti langit ikut puasa
dan tidak mengucur hujan ke bumi.....//
Pengampunan Penyair
Ramadhan adalah juga bulan pengampunan. Digambarkan dengan begitu indah dalam catatan-catatan ibadah yang sangat membuat hati kagum akan kesungguhan umatMu mengisi bulanMu yang suci . Beberapa penyair tersebut menorehnya dalam guratan-guratan puisi yang kadang memiliki kekuatan nafas ibadah dan kemuliaan Ramadhan. Berikut Raden Rita Maemunah dalam puisinya “ Bersujudlah”
//....Kau terbangun saat malam masih pekat
Mengeluh dan kembali nyenyak
Mengapa kau tak bangun bersujud mengucap rasa sukur
Menadahkan tangan sambil tersungkur...//.
Sedang Dwi Wahyu C.D. dalam puinya “ Doaku”
//Di ujung shaf kutundukkan pandangan
Kupasrahkan jiwa dan ragaku
Tuk merengkuh pengharapan ridho-Mu....//. Juga
Syahriannur Khaidir dalam puinya “ PadaMu”
//...PadaMu haruskah kukenali cemburu
Karena kucumbui Kau dengan rayuan semaunya
Dalam jalan pilihan para pendosa
Tak henti-hentinya menggedor pintu-pintu taubat//
Sedang penyair-penyair lainnya tak kalah dalam mengagungkan kebesaran ramadan dengan menggambarkan kekhusuan dalam menjalankan perintah itu, seperti Septiannoor dalam cuplikan puisinya
//Pulang mereka tergesa
Dengan nasi dan sejumlah uang untuk para putra-putri mereka
Pakaian lusuh berjuntai dengan wajah berseri gembira
Ingin segera pulang untuk berbuka
Bersama keluarga meski hanya sedekah hari ini yang mereka terima//, kemudian
Septiannoor melanjutkan dalam puisi lain , berikut cuplikannya:
//....Certia terus berlanjut
Senyum dan tawa akhirnya selesai pada suara bedug disurau desa...//
RB Pramono dalam puisinya “ Di Simpang Jalan Itu”
//kau memanggilku
wajahmu lelah namun berseri
jarak cahaya telah kau tempuh
aku ingin bersimpuh
wahai sang Kekasih Jiwa...//
di puisi lain RB Pramono menulis “ Demi Masa”
//...demi masa, aku tak ingin tumbang
sedang batin masih demikian kerontang
/demi masa, aku ingin bersujud tanpa hitungan
menjelang jemputan pulang//
Akhmad Asyari dalam puisi yang berjudul “ Hahaha”
//...Sadar bila sakit
Istighfar hingga kelangit
Tafakkur bila syukur
Sujudpun sampai mendengkur
Hahaha...
Kau ini, ada-ada saja!//.
Di Tempat lain
Di Tempat lain Ramadhan juga adalah bulan sosial, gambaran itu diungkapkan dalam puisi-puisi penyair-peyair kita sehingga membentuk untaian antologi yang sangat indah. Berikut Shah Ri Zan, Bunergis Maryono, Iwan Bonick, Sarwo Darmono, dan Cuk Ardi.
Shah Ri Zan dalam puisnya “ Kejam”
//....hanya akan memerangkap
ke suatu lembah yang paling hina
apa yang diciptakan
terbentuk dari dusta semata-mata
kemuliaan sepasang genggam tangan kekasih pasti akan berakhir
dengan penyesalan tidak bernoktah//
Bunergis Maryono dalam puisnya “ Tiap Subuh “
//....Melekat di benakku nama tiga toko yang selalu kami lintasi
Toko Kasih
Toko Iman
Toko Harapan
Penting di saat sekarang
Perlu zaman maya ini memiliki stock Harapan
Gudang Iman
Pabrik Kasih...//
Iwan Bonick dalam puisinya “ Pesepedah Tua”
//...Di jalan
Berbatu berkerikil bergelombang
Di jalan
Setapak tanah yang licin kala hujan
Di jalan
Beraspal namun berlubang
Di jalan
Menanjak nan melelahkan
Di jalan
Menurun terkadang menakutkan
Di jalan
Berhotmix yang rata mengasickan
Itu adalah sajadah panjangmu...//
Sarwo Darmono dalam geguritannya “ Aku Hamung Melu”
//...Merga aku hamung melu. Embuh aku ora weruh ,
Apa iki diarani Sedekah Aksara Kang iso gawe suka ,
Apa iki diarani nata Aksara mung isa diwaca
Aku ora Pirsa , Antuk Nugraha apa muspra ,
Sing baku aku melu Laku Prayoga lan Utama
Kabeh Mangga Kersa ,Pasrah Kersaning Gusti kang Paring Nyawa//
Cuk Ardi dalam puisinya “ Sahabat”
//...membaca tentang maha luasnya alam semesta
membaca tentang segala apa yang Tuhan cipta
membaca tentang ilmu Tuhan yang tak terhingga
marilah kita bersahabat dengan keagungan alqur'an
karena ia membuka kita pada kesadaran..//
Istimewanya Ramadhan
Tinta penyair adalah karya seni pikir penyair yang digoreskan dengan perantara aksara. Betapa dalam menahan lapar dan dahaga penyair kita membuahkan karya bermutu tinggi dalam tadarus puisi Sedekah puisi, yang betul-betul , dan sekali lagi penulis katakan sangat indah seperti berbagi keindahan. Berikut cuplikan-cuplikan puisi indah itu :
Suhendi RI dalam puinya “ Nirvana”
//...Dalam kefanaan ia mengasingkan diri
Menembus batas semu surgawi
Menuju jalan budhi...//
Harkoni Madura denga puisinya “ Cemara Udang Pantai Lombang”
//....sapuan pucuk daun-daunnya mengisyaratkan ihwal pendakian
mengupak semestaku menuju rute-rute rindu
hampar pasir dan ikan-ikan yang berenangan
masih menjinjing sakaw dzikir penghujan
hingga pada jingkrak tubuh-tubuh sampan
kujumpa rekah jalan sebasah kayuhan firman
menyambut denyut senja yang berarak
kusyahadatkan kedirian lewat basuhan sajak-sajak
selagi jazad tak uzur meredup...//
MayaAzeezah dalam puisinya “ Maafkanlah”
//.../Memperlihatkan Hisab?
Amal perbuatan selama ramadhan
Ya, aku tercantum paling hitam
Pada buku-buku malaikat/...//
Faisal ER dalam puisinya “ Sebuah Catatan Ramadhan”
//Di ujung sajadah
aku memeluk air matamu
Menari dalam kenangan
Sebagian yang lain
mengejar impian sampai ke langit
Mengubah dirinya menjadi bahasa tubuh,
seperti puisi diam dalam makna....//
Eri Syofratmin dalam puisinya Air mata jiwa
//...: Yang bersetubuh dalam jasad,
Bimbing Nurku. Siram, bersihkan
Bersama air suci dan zikir-zikir hening
Sampai air mata jiwaku mengalir,
Dari bilik-bilik lembah mata jiwaku.
Ya Nur Muhammad.....//
Faisal ER dalam puisinya Sebuah Catatan Ramadhan
//...Namun tangismu terdengar nyaring
Menunggu lailatul qodhar yang nyaris
Mulutmu yang gagap dan tanganmu yang lemah
Tak kuasa menggapai meskipun melambai
Doamu membakar sunyi yang sepi
Sujudmu kesenyapan yang sendiri//
Osratus dalam puinya “ Protes tentang Sepasang Sandal Jepit”
//...."mungkin, daripada hidup diselimuti kepurapuraan makanya mereka pulih bercerai. mungkin juga, ada sandal ketiga yang iseng. bisa jadi, aku dan dirimu penyebabnya. tapi bukankah menganggap pasti yang belum pasti, sama saja dengan bohongi diri sendiri? ...//
Muhammad Affip“ Dongeng Batu Puasa”
//...Ketika ada orang gundah mencari arah lalu
daun berisik dan gugur bersama angin, batu dingin
menanti hujan menunggu matahari menyapa kembali.
--seorang bocah menangis kepalanya berdarah
O dari manakah kerikil yang buta arah?//.
Najibul Mahbub dalam puisinya Lautan berikut cuplikannya
//Ketika Camar mencari peraduan
Diantara karang-karang terjal
Monyet memilih Senayan dalam genggaman
Sedangkan kancil menjadi penguasa di lautan....//

Mereka Melihat Malam Lailatulkadar
Sungguhpun puisi, tak sembarang puisi, dan puisi pun dapat mengungkap rahasia alam, dan meraba Rahasia Allah dengan pengalaman batin dan pengalaman lahiriahnya dalam hidup ini. Penyair –penyair pun mendapatkan kesempatan melihat Malam Lailatulkadar dengan goresan tintanya itu.
Arie Png Adadua dalam puisi “ Pada Malam Lailatulkadar II” :
//...seorang muslim terpilih
ke luar surau usai i’tikab bersendiri
di malam hitungan ganjil
diam terpaku di satu langkah kecil//
...//tak ada angin semilir
pikiran dan hatinya dalam dzikir
malihat daun-daun merunduk
seakan-akan khusyuk rukuk
jagat raya dan alam sekitar
seperti diam berhenti berputar
pada malam lailatulkadar...//
Dzul Halim dalam puinya “ Aku ingin mengecup keningmu”.
//...Bait-bait diri melayang menerjang mega-mega,
Tergantung pada doa yang entah kemana singgah...//
Dzul Halim dalam puisi lainnya “ Rindu”.
//...Bahkan samar berjelaga.
Hanya gulita berselimut fatamorgana dalam diam
Yang terus membungkam...//
Parijem dalam puisi “Jika tlah” :
//azan memanggilku bukan berkumandang
shalat adalah jalanku bukan perkara
puasa itu rutinitas bukan lagi sunah atau wajib
zakat menjadi bagianku bukan satu perintah
Naas menjadi terutama tak utama,
Tlah,
Akhir nafasku//
Sami’an Adib dalam puisinya “ Di Malam ke-21 Ramadan “ :kenangan puasa di bawean”
//... “assalamualaikum, salam bahagia dan kesejahteraan
kami hantarkan bersama sejinjing remah persaudaraan”...//
Yanu Faoji dalam pusinya “ Pancaran Makrifat”
//....Yang melarungkan tuna waca Merangkul shidiq pada setiap hembusan nafas
Dan meniupkan jilat yang melalap Membasah kuyupkan seluruh tubuh ...
Alek Brawijaya dalam puisnya “ Mazhab Bulan”
//...Kucatat semuanya dalam satu malam
sampai tiba fajar akan kugabungkan
menjadi sebuah mazhab perjalanan menuju bulan...//
Menutup Sedekah Puisi dengan Kefitrian
Hingga tiba saatnya akan berganti bulan lulus kita berpuasa sebulan lamanya. Segala ibadah dalam kemulian bulan Ramadhan telah ditukan dengan kefitrian di tiap-tiap manusia. Lalu timbul pertanyaan , seperti yang diungkapkan Riswo Mulyadi dalam puisi nya “ Apakah Aku Puasa” berikut cuplikannya:
//...jika pun aku puasa
apakah akan kembali ke fitri
jika lebaran kujadikan ajang riya..//. Kemudian
Agustav Triono dalam puinya “ Ramadhan dan Syawal “ menandai dua bulan yang selalu disambut umat Islam seperti dalam puisinya :
//Ramadhan dan Syawal adalah sebuah penantian sekian purnama berlalu leliku hidup perjalanan
Seclurit bulan penanda kedatangan dinanti dengan gembira hati
Harihari bertabur religi
Pun berhias hargaharga melambung tinggi
Ramadhan dan Syawal adalah sebuah perjumpaan...//.
Digambarkan dalam suasana lain penyair Zaeni Boli dalam puisinya Malam Hampir Lebaran , berikut cuplikannya:
//Adakah cinta
Masih menempel di hati kita
Saat Ramadhan berlalu
Tak ku lihat airmatamu//.
Di jelang Idul Fitri potret-potret pun mulai muncul seperti digambarkan penyair Barokah Nawawi dalam cuplikan puinya “ Pencari Zakat” :
//....Ibu-ibu paruh baya yang masih kuat berlari
Terus berlari menyongsong derma yang mengalir
Dari rumah ke rumah sampai ke sudut kota yang terpinggir
Berselubung tatapan letih dan wajah yang menghiba. ...//
Penyair Akhmad Asyari pun menghiasi lebaran dengan puisi indahnya , berikut cuplikannnya :
//...Anak-anak sudah bingung
Tidak bisa membedakan antara tahu dan tempe
Karena bahannya sama dari kedele...//. Sedang penyair Yudhi Ajha dalam puisinya merekam Malam Lebaran:
//....Sementara aku di sini,
di balik jendela tua yang mulai berderit,
memandangi mereka dengan seribu kenang.
Tanpa terasa waktu bergulir begitu cepat.
Bocah-bocah kecil yang bergembira di halaman Masjid itu adalah aku yang dulu ceria jika setiap kali tiba malam Lebaran....//. Untuk kemudian penyair
Bambang Widiatmoko dalam puisnya menulis Idul Fitri di Bukit Barchan:
//...Kita telah duduk melipat kaki
Terasa butiran pasir menjalar di kanan dan kiri
Mendengar dengan khidmat kotbah Idul Fitri
Lantas begitu saja kusadari
Di tepi pantai ini - kekosongan hati....//. Dan akhirnya bertebaran keindahan Ramadhan dan Idul Fitri.
Sri Sunarti dalam puisinya Di Penghujung Ramadhan
//....ya Ramadhan,di penghujungmu
tak kan kubiarkan kau berlalu
hingga datang waktu
gema takbir di setiap surau
ya Ramadhan,
di sisa perjalanan usiaku
kuingin meraih surga-Nya....//
M Sapto Yuwono dalam puisinya menyingkat semua puisi-puisi dalam Tadarus Sedekah Puisi dengan “ Fitrah Hati”
//Sebait saja kulambaikan padamu
Saat renung tuai rasa, saat jiwa putus asa
Kutuangkan bentuk tulus
Fitrah hati...//
Sampai dengan Wanto Tirta Sajian ini ditutp dengan “ Sedekah Puisi “ sebuah puisi penutup antologi ini sebagai penanda, berikut petikannya:
//....Sedekah puisi upaya diri
Untuk saling asah asuh asih
Dalam kesederhanaan janji
Jaga hati dalam olah seni....//
Selamat membaca.

(Rg Bagus Warsono, Kurator di HMGM)