/ wawasan

Kekecewaan , Penyesalan dan Keyakinan Penyair Jiwa Kebhinnekaan

Dari antologi Lumbung Puisi 2014

Ali Syamsudin Arsi seorang penyair asal Barabai, Kab. Hulu Sungai Tengah, Prov. Kalimantan Selatan seakan mebuka antologi ini dengan kekhawatiran terhadap negeri dengan terlulis lewat “Daun-daun di jendela Perpustakaan geriis” //… -ada libasan bayang-bayang ketika orang-orang berduyun di belakang berebut saling mencengkeram denga jari-jari tajam – kami hilang catatan – negeri ini semakin menuju arah ke curam-curam ketika tebing dengan setia menelentangkan tubuhnya atas keluh dan semua macam resahnya retak-retak embun sampai pecah-pecah cuaca,..// (Daun-daun di jendela Perpustakaan geriis) bahwa perlunya dokumentasi sejarah di masa sekarang (dibuat januari 2014) dan perlunya pengokohan fundamental anak bangsa yang tidak saja menipis tetapi juga mengkhawatirkan dan bahkan mebahayakan keselamatan bangsa.

Lalu Aloeth Pathi dari Sekarjalak-Pati meberikan pembuka jalan agar sedikit optimisme melalui rasa (Tanah Tumpah Darahku II: Daun Kami)

//…bangga apa yang telah diperbuat,

Biarkan yang rontok bercerita

Bahwa kami pernah bersatu menciptakan hijau

Meski kini kering tak memberi sejuk

Tapi pernah menggores catatan

pada batangmu yang mulai rapuh

benih-benih yang aku sebarkan

mulai tumbuh menjadi tunas-tunas

siap menerjang pilar-pilar yang menghadang

biarkan akar itu menjalar

di sisi ruas-ruas jalan….// Aloet Pathi meyakinkan Ada suatu optimisme walau dalam keadaan dan bahkan rintangan, seakan kelak berjalan dengan sendirinya, seakan ia berkata nanti juga aka nada penyelesaian.

apapun itu nama dan jenisnya selalu berserakan.

CecepNurbani penyair muda berbakat dar Garut memotret negreri dalam pandangan mudanya yang seakan kecewa, demikian syairnya:

//…ditrotoar..,

kaki lima mengadu nasib dengan

memasang badan takut takut petugas datang

seperti maling mengintip tuan rumah

gadis cilik bersaudara bernyanyi sambil menghirup udara segar dari kaleng Lem

pengamen jalanan bernyanyi bermuram durjana sambil melihatkan taringnya berharap uang kertas yang diterima

suungguh konyol dan menyedihkan negeri ini….//

(Apapun itu Nama dan Jenisnya Selalu Berserakan)

Ada suatu yang menarik untuk disimak sebagai renungan dalam mengapresiasi buku ini seperti

Melihat Tanah Air sendiri dari pandangan setiap orang Indonesia adalah warna-warni. Suka dan tak suka, puja dan cerca, senang dan bosan, sanjung dan kritik. Penyair Dwi Klik Santosa memotret Indonesia dala kepahitannya, seperti tertuang dalam “Berita Para Pemabuk”

“Akukah tak layak hidup.

//…Di bumiku yang kaya

janji-janji seperti nyanyian iblis.

Tak benar aku hendak dibawa ke sana.

Tapi lihat aku kini.

Melulu mengais-ngais sampah

di negeri sendiri.”//

Dwi Klik Santosa ingin mengajak untuk enengok kepahitan itu. Kepahitan hidup adalah pengalaman kegetiran seseorang agar ditempa menjadi kuat dan tak terulang.

Lalu penyair eL Trip Umiuki menuliskannya dala sebuah syair yang sangat mendalam bahwa keadaan – keadaan Indonesia dengan berbagai problema seperti

“Sumur Tanpa Dasar”, demikian syairnya penutupnya:

//…sarjono namanya

sarjana sains, ekonomi, sekaligus psikologi

sayang pengalaman kerja takpunya

bersimpan bara di kepala minta kerja ia kepada tetangganya

mandor bangunan di kota

mengaduk pasir dan semen ternyata bukan kerja sederhana

dengan dendam membara

mencangkul dia mencangkul

menggali lubang di kebunnya

takpeduli darah berlumur terus mencangkul

menggali sumur

senin selasa rabu kamis jumat sabtu

tak ada minggu dan hari libur ia

terus mencangkul terus//.

Demikian kebhinnekaan menjadi warna-wani dari sudut pandang sastrawan kita. Seperti Fahmi Wahid mencoba mengingatkan akan Indonesia sesungguhnya sebagai negeri maritime negeri bahari yang pernah Berjaya. Lewat “Tangis Keberagaman”, ia menuturkan :

//…di hunjur kuningnya ladang

pada tebaran kicau kepodang

semasa hembus sejuk angin gunung

melipur musim yang kian gamang

petuah dan petitih enggan dimengerti

dan kebersamaan kini tak punya arti

sebab semua manusia tak lagi punya nurani

menyelamatkan kearifan budaya bahari

yang hampir tak terjamah lagi….//

Penyair Gampang Prawoto juga menulis bahwa merasakan semua itu adalah rasa dan aroma setiap manusia yang kadang tak mengerti hitam dan putihnya apa yang terjadsi. Seua adalah rasa katanya seperti dituturkan dalam syair :

“Secangkir Rasa”

//…jangan hanya manis di pantai bibir

pahit di pusara hati

lidahku belum kelu

pemanis tak biasa tersuguh di meja rasa

walau tanpa gula

aroma kopimu aku baca tanpa mengeja

panas – hangatnya warna.//.

Di puisi Moh. Ghufron Cholid memberi kekuatan utuk meyakinkan pandangan-pandangan itu bahwa Indonesia itu meiliki kekuatan yang tak akan goyah walau dalam kegetiran papa pun. Seperti tertuang dalam :

‘Sebab Indonesia Adalah Kita”

//…tumbuh di tiap mata

mata hari

mata jiwa

mata doa

yang tak kenal purba

Indonesia takkan musnah dalam peta

jika kita tak mengamini ramalan-ramalan asing

yang menanam benih-benih asing

dalam jiwa kerontang….//.

Senada dengan Moh. Ghufron Cholid, penyair Rezqie Muhammad AlFajar Atmanegara mengajak utuk saling menjaga keistimewaan Indonesia itu.

“Bhinneka Tunggal Ika adalah Aku”

//…di mana lagi kami tanam bulir harapan

bila seluruh kehijauan hutan bunda

telah habis digeser bangunan-bangunan

berbaju kawat, baja, semen dan beton

ke mana jua kami layarkan perahu kebersamaan

sebab semua kolam susu pertiwi

keruh sampah payau berbisa

bagaimana kami menegakkan tugu pertahanan

karena kini tiap jengkal tanah terbongkar

di keteragisan reruntuhan negeri inilah

mari, kita bergenggam dan saling gandeng bersama

mempertahankan hakikat dan keutuhan bangsa…//.

Roni Nugraha Syafroni dalam “Semboyan” di bait terakhir syairnya seakan mengambil keputusan tentang slogan kebangsaan kita agar menjadi semboyan yang tidak saja sebagai slogan tetapi dihayati, seperti dalam syair ini:

//…Semboyan ini tampak tak berguna dan usang,

tapi ada secercah keyakinan tak akan dibuang.

Terus dihayati diamalkan hingga usia petang,

agar berguna teruntuk generasi mendatang.//.

Ada sebab-sebab pemberian keputusan itu tentu dari pengalaman dan sejarah bangsa. Seakan tak terima juga jika bangsa ini mengalami keretakan dari rantai kebhinnekaan itu. Soekoso DM menulisnya dalam syair “Sajak Trenyuh Kala Sayap Garuda Nyaris Runtuh”, demikianj bunyi cuplikannya:

//…biarkan beda adat jadi rahmat beda budaya jadi taman bunga sebab Tuhanlah yang telah menanam benihbenihnya

Orangorang bertegursapa saling menjabat saling cinta

(Di ruangruang kelas dan di tanah lapang anakanak bernyanyi lagu Satu Nusa Satu Bangsa dan Bagimu Negeri).//

Pujian pun diberikan penyair Syarif hidayatullah lewat

“Rangkaian ikatan huruf, Indonesiaku” seperti dalam cuplikan ini://…Alif yang tegak mampu jadi hutan esok hariNun tanpa titik menjadi danau yang melegenda. Baa nan mungil tempat transportasi membelah sungai negeriku. Gunung-gunung memperindah goresan Tuhan dalam ikatan satu Ika….//

Bahkan Wadie Maharief meyakinkan akan kecintaan terhadap bangsa ini, Ia tuliskan lewat syair “Lima Ekor Merpati Menembus Mendung” demikian bunyi cuplikannya dalam bait terakhir :

//…Lima ekor merpati melesat

Lubang ozon mencairkan es di kutub

Tujuh lapis langit terluka

Lima ekor merpati kehilangan sayap

Jatuh di pulau-pulau terbakar

Api cintamu yang berkobar.//

Masih banyak puisi lain yang menarik dan enak dibaca dalam buku ini seperti karya-karya dari : Ridwan Ch. Madris, Sokanindya Pratiwi Wening, Sus S. Hardjono, Abdul Wahid, Andrian Eka Saputra, Dimas Indiana Senja, Eddie MNS Soemanto , Fasha Imani Febrianty, Iwan Kuswandi, Julia Hartini, Mohamad Amrin, Muhammad Hafeedz Amar Riskha, Nieranita, Novy Noorhayati Syahfida, Puji Astuti.

Akhirnya Wardjito Soeharso mengajak kita seua untuk merenungkan seperti judul puisinya “Ngudarasa” //Sadalan dalan

Anane mung gronjalan

Mergo akeh kedokan

Salurung lurung

Anane mung bingung

Mergo adoh gurung

Yen dalan wis kebak kedokan

Lurung wis akeh sing suwung

Gurung wis pedot sakdurunge diulur…// bahwa banyak tanda-tanda zaman ini untuk dapat tidak saja untuk direnungkan tetapi juga untuk disikapi generasi uda sekarang.

//…Tan ana asile kang mapan

Mula ta tansah elinga

Bebrayan iku tansah sangga sinangga

Abot enteng nora rinasa

Arepa awan panase sumelet

Bengine peteng ndedet lelimengan

Kabeh lumaku kanti rahayu.//.

Demikian jika sastrawan mengungkapkan apa yang dirasakan pancainderanya memberikan suguhan rasa tersendiri, semoga dapat memberikan penyejuk dan apresiasi mendalam terhadap buku ini.

Rg Bagus Warsono

Kurator sastra di HMGM