/ Ulasan Puisi

Jalan Batu Ke Danau, Sitor Situmorang

Jalan Batu Ke Danau
Sitor Situmorang

Lewat Taruntung dan Sintar
ada dua jalan baru
menuju danau
Aku tahu...
Lewat Taruntung dan Siantar
ada jalan batu
Menuju kau
Aku tahu...
Dari Taruntung dan Siantar
ada dua jalan rantau
ke pangkuanmu
Aku tahu...
Dari Taruntung dan Siantar
ada dua jalan rindu
terinfat kau
Aku tahu....

Mari kita baca Puisi indah karya Sastrawan Indonesia Angkatan 45 Jalan Batu .
Berbagai penafsiran tentang puidi ini. Ada yang mengatakan bentuk kisah perjalanan fisik yang keras ada juga yang menafsirkan tentang kerinduan tentang jalan menuju danau Toba.

Menikmati puisi Sitor Situmorang seperti dua penafsiran itu. Seakan kita tengah berjalan menuju suatu tempat dengan menginjak jalan batu tetapi juga mengingatkan tentang Taruntung dan Siantar.
Tetapi juga bisa juga terbalik bukan menuju danau tetapi keluar danau sebagai jalan keluar rantau.

Sebuah puisi yang memberi multi tafsir yang enak dibaca. Pengulangan kata-nya benar benar mengena dan indah diiramakan membaca. Tentu pengulsmangan demikian tak akan bisa diikuti oleh penyair sekaran karena beda masa nya.
Aku tahu dua jalan rindu, dipertegas oleh baris selanjutnya : ke pangkuanmu .
Aku tahu, danau itu tempatmu kembali.

Sitor-Situmorang

*Sitor Situmorang dilahirkan dengan nama Raja Usu Situmorang. Ayahnya bernama Ompu Babiat, seorang kepala adat dari marga Situmorang, sedangkan dan ibunya berasal dari marga Simbolon.Sitor menempuh pendidikan di HIS di Balige dan Sibolga serta MULO di Tarutung kemudian AMS di Batavia (kini Jakarta). Pada tahun 1950-1952, Sitor sempat berkelana ke Amsterdam dan Paris. Selanjutnya, ia memperdalam ilmu memperdalam ilmu sinematografi di Universitas California pada tahun 1956-1957.

Waktu kelas dua SMP, Sitor berkunjung ke rumah abangnya di Sibolga dan menemukan buku Max Havelaar karya Multatuli. Buku itu selesai dibaca dalam 2-3 hari tanpa putus, walau penguasaan bahasa Belandanya belum memadai. Isi buku menyentuh kesadaran kebangsaannya. Ia menerjemahkan sajak Saidjah dan Adinda dari Max Havelaar ke dalam bahasa Batak. Sejak itu, minat dan pehatian terhadap sastra makin tumbuh, dan dibarengi aspirasi "kelak akan menjadi pengarang".

A. Teeuw menyebutkan bahwa Sitor Situmorang menjadi penyair Indonesia terkemuka setelah meninggalnya Chairil Anwar. Sitor menjadi semakin terlibat dalam ideologi perjuangan pada akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an, sebagai pengagum Presiden Soekarno, benar-benar melepaskan kesetiaanya kepada Angkatan '45 khususnya Chairil Anwar, pada masa ini.

Ia pernah menetap di Singapura (1943), Amsterdam (1950-1951), Paris (1951-1952), dan pernah mengajar bahasa Indonesia di Universitas Leiden, Belanda (1982-1990) dan bermukim di Islamabad, Pa*kistan (1991) dan Paris.**

(Rg Bagus Warsono, kurator sastra di Lumbung Puisi 25-09-2024)