/ artikel

Budaya Baca Sastra Kita Masih Lebih Baik Era Sebelum Tahun 90-an

Kerinduan masa lalu di budaya baca sastra dapat dibandingkan dng GLN atau kurikulum merdeka, sekarang berlangganan perpustakaan saja perlu di-oprak2!

Harga diri, cinta Tanah Air, Idealisme dan rasa sosial serta bela negara masa lalu dibentuk oleh 'bacaan diantaranya sastra. Kini jarang lagi dijumpai apresiasi siswa membaca sastra hingga meneteskan air mata. Sentuhan bacaan sastra pada masa sebelum th 90-an membentuk dan mewarnai kepribadian generasi muda. Di era HIS, SR, SR Ongko Loro, sekolah di zaman orde lama dan orde baru, bacaan sastra disediakan pemerintah dan guru sebagai penuntun baca. Telah tersedia banyak media sosial unt publikasi sastra, intinya dibaca oleh masyarakat. Tetapi dalam segi kualitas budaya baca sastra kita tidak lebih baik dari senelum era 90-an.

Masyarakat pembaca sastra yang efektif adalah pelajar dan mahasiswa, karena itu guru menjadi nomor satu penyampai pesan sastra. Peran guru sangat penting untuk membentuk kecintaan terhadap sastra Indonesia dan kebiasaan membaca bagi siswa.

Ternyata negeri2 berkembang menjadi maju seperti: Thailan, Vietnam, Pakistan rakyatnya terinspirasi sejarah dan karya sastra bangsanya yg harus dibaca di sekolah.

Salah satu upaya sekolah untuk menggelorakan minat baca sastra adalah mengundang pelaku sastra untuk memberi masukan dan kesegaran pada siswa. Keuntungan lembaga sekolah memanggil nara sumber penyair unt menggelorakan minat baca siswa adalah kebanggaan bisa mendatangkan pelaku buku itu sendiri. Silahkan lembaga sekolah untuk menggelorakan budaya baca siswa memanggil penyair untuk memberikan penyegaran dan mengetahui dunia sastra dewasa ini.

Bukan salah penyair dan penyair tidak melarang generasi muda pada "jogedan" 'ora nggenah. Yang jelas kita membutuhkan peran guru dan dosen sebagai pengantar dan pembimbing bacaan siswa yang baik khususnya bacaan sastra. Dan aku yakin akan tiba saatnya Penyair/ Sastrawan akan tampil untuk memberi warna bangsa ini dengan keluhuran budi dan budaya. (Rg Bagus Warsono)