/ Tokoh Sastrawan Indonesia

87.Raudal Tanjung Banua

87.Raudal Tanjung Banua dikenal sebagai penyair, cerpenis, dan esais. Dia lahir di desa Lansano, Kenagarian Taratak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat, 19 Januari 1975. Dia mengenyam pendidikan di SMA Negeri I Painan. Sambil bersekolah, ia menjadi koresponden harian Semangat dan harian Haluan yang terbit di Padang. Setelah selesai dari pendidikan menengah, Raudal Tanjung Banua meninggalkan daerah kelahirannya untuk merantau ke Bali (awal 1995) dan ke Pulau Jawa. Mula-mula ia menuju Denpasar. Di sana ia bergabung dengan "Sanggar Minum Kopi" dan banyak belajar pada penyair Umbu Landu Paranggi yang mengasuh rubrik budaya Bali Post. Komunikasinya dengan Umbu Landu Paranggi dan Frans Najira di Bali betul-betul meningkatkan kualitas karya kreatifnya. Raudal menjadi terlatih untuk berdiskusi tentang puisi yang dilanjutkan dengan "pembantaian" dan "perombakan", sehingga karyanya, terutama puisi, semakin berkualitas. Dari Bali perantauannya dilanjutkan ke Yogyakarta. Di Yogya Raudal masuk pendidikan formal di ISI, Jurusan Teater. Namun, kegiatannya menulis sastra tak pernah berhenti. Di Yogyakarta pula ia menemukan tradisi baru dalam dunia kepenyairan. Raudal masuk dalam tradisi silahturahmi yang sering dilakukan oleh penulis Yogyakarta. Dalam silaturahmi tersebut mereka bertemu pada suatu tempat secara terencana atau secara kebetulan. Dalam pertemuan itu, terjadilah dialog antara sesama penulis, baik senior maupun yunior dan melalui silaturahmi itulah terbangun suatu spirit baru untuk berkreativitas. Di Yogyakarta Raudal Tanjung Banua mendirikan Komunitas Rumah Lebah dan bergiat dalam lembaga budaya "Akar Indonesia" yang berhasil menerbitkan Jurnal Cerpen Indonesia. Raudal Tanjung Banua yang masih berdomisili di Yogyakarta bekerja sebagai editor lepas. Di samping itu, ia juga bekerja sebagai Ketua Redaksi Jurnal Cerpen Indonesia (majalah yang diterbitkan oleh lembaga budaya Akar Indonesia) dan menjadi pengulas puisi remaja di surat kabar Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. Dia bergiat dalam penulisan puisi, cerpen, dan esai yang kemudian hasil karyanya diterbitkan dalam berbagai media massa. Karyanya terkumpul dalam antologi bersama, antara lain Pemintal Ombak (Sanggar Purbacaraka Unud, 1996), Kembang Rampai Penyair Bali (Bali Mangsi, 1996), A Bonsai's Morning (Matamera, 1996), Slonding ( Yayasan Selakunda, 1997), Tamansari (FKY X, 1998), Embun Tajali (FKY XI, 1999), Art and Peace (Yayasan Buratwangi,2000), Datang dari Masa Depan (SST,2000), Hijau Kelon (Kompas, 2000), Obituari Bayi yang Tak Mati (Bali Post, 2002), dan Iman! (TUK, 2003). Bukunya yang sudah terbit adalah Pulau Cinta di Peta Buta (Jendela, 2003), Ziarah Bagi yang Hidup (Matahari 2004), Parang Tak Berhulu (Gramedia, 2005), dan Gugusan Mata Ibu (Bentang Pustaka, 2005). Pembacaan puisi pernah dilakukannya di Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) 2002, Panggung Baru Sastra Indonesia (Teater Utan Kayu, Jakarta, 2003), Pesta Sastra Internasional (di Solo, 2003) dan Cakrawala Sastra Indonesia di Taman Ismail Marzuki, (Jakarta, 2004). Karya Raudal pernah mendapatkan penghargaan "SIH Award" untuk puisi terbaik dari Jurnal Puisi, 2004, dan Anugerah Sastra Horison 2004. Pada akhir bulan Oktober 2007 ia menerima Hadiah Sastra Mastera Malaysia di Kuala Lumpur.