/ puisi

WAJAH PEREMPUAN, Gm Sukawidana

WAJAH PEREMPUAN

perempuan bersayap selendang
entah ke mana angin menerbangkannya
rontok dedaun di tanah basah
aku melacak jejakmu dalam gerimis
merajut sisa mimpi semalam
buat kujadikan baju pengantin
perjaka senja peladang garam
riuh ombak gelisah langit
bermuara di detak detik jantung
pinangan semusim hanya sebatas igau
menjaring bayang sendiri
dalam genggam pekat kabut
perempuan bersayap selendang
kembaramu melewati perigi aortaku
kau tahu perih sayat sembilu?
kukulum dalam-dalam
dalam senyap batu-batu gunung
di ubun-ubun
matahari terbakar
kukayuh sampan perunggu
di gerai hitam rambutmu
mengombak disusur angin senja
beku wajah purba para punakawan
"pinangan ini hanya sebatas kabut,
dan kau meramunya dengan warna-warni masa depan! "
aku lena di bawah kepak sayap selendangmu

FRAGMEN 30
​kuceritakan lakonku padamu
matahari-matahari
di merah senja
kau taburkan bara
di bongkahan batu gunung
anak-anak peri
ditangkar dalam mantra gaib
agar tak terjamah
kulit legam perjaka peladang garam
di hulu
para punakawan melarung sampan
mencari pesisir sunyi
“ke mana saja pergimu selama ini, anak lanang?”
begitu kau bertanya
sambil menghitung waktu jarak yang panjang
dengan nyala api kunang-kunang
aku menyeruak tepian kabut
bersembunyi dari jejak bayangmu
tapi gerimis perlahan menguaknya
di manakah matahariku? di manakah rembulanku?
gerhana semakin pekat meningkap wajahmu
di bawah gerimis
serombongan anak-anak pedalaman
menyanyikan tembang-tembang smarandhana
rambutnya basah
hatinya penuh riang
sementara dengan kuku jemari yang luka
kugali liang terdalam
dalam perih luka tubuh sendiri
untuk kupendam mimpi perjakaku
kau tak tahu itu!
pohon-pohon purba
akarnya bergelantungan
merambat jauh
ke urat belulangku
limbung dalam kedipan matamu
para tetua
membacakan lontar-lontar di bale gede
agar terbaca semua silsisah anak cucu
agar tak sangsi dalam menjalani hidup
duh meme! duh bape!
karena kelahiran adalah karma
aku tak bisa memilih lahir dari rahim siapa
maka meminang itu anak matahari
sepertinya menaburkan percikan bara
ke dalam tubuh sendiri
maka tak kutambatkan pinangan
pada anak-anak peri dalam penangkaran
saat senja matahari di mataku
kau datang membawa rindu
sambil bertanya-tanya
ke mana saja selama ini
perantauanku jauh ke jantung hening
menggaru ladang kata jadi puisi
yang kutembang
buat membasuh dukaku!
musim berganti
kabut meleleh jadi butir embun
diam-diam
aku menyeberangi mimpimu
mengayuh sampan abadi
yang kurakit dari benang bianglala
untuk kemudian lepas dari mimpi perjakaku
kau tahukah itu?