Toto Sudarto Bachtiar
Toto Sudarto Bachtiar
Dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat, 12 Oktober 1929. Penyair yang dikenal dengan dua kumpulan puisinya: Suara (1956) dan Etsa (1958) ini, juga dikenal sebagai penerjemah yang produktif. Karya-karya terjemahannya, antara lain Pelacur (1954, Jean Paul Sartre), Sulaiman yang Agung (1958, Harold Lamb), Bunglon (1965, Anton Chekov), Bayangan Memudar (1975, Breton de Nijs, diterjemahkan bersama Sugiarta Sriwibawa), Pertempuran Penghabisan (1976, Ernest Hemingway), dan Sanyasi(1979, Rabindranath Tagore). Ia merupakan catatan sejarah sastra tahun 1950-an, yang pada zamannya penuh perjuangan, sehingga karya-karya Toto selalu berisi perjuangan dan perlawanan melawan penjajah, seperti sajak Pahlawan Tak Dikenal, Gadis Peminta-minta, Ibukota Senja, Kemerdekaan, Ode I, Ode II, Tentang Kemerdekaan.
Saat terjadi Clash I, ia bergabung dalam Polisi Tentara Detasemen 132 Batalyon 13 di Cirebon. Pada waktu menjadi mahasiswa di Jakarta, pernah menjadi redaktur majalah Angkasa dan menjadi redaktur Menara Jakarta. Turut pula mendirikan majalah Sunda di Bandung bersama Ajip Rosidi tahun 1964 dan pernah menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Puisinya banyak dimuat media pada tahun 1950-an dan tersebar di beberapa media di Indonesia.
Sajaknya yang berjudul Ibu Kota Senja, menggambarkan situasi batiniah perjuangan menaklukkan Kota Jakarta. Ia menggambarkan Jakarta tanpa kompleks sebagai pendatang. Hingga kini, menurut pengamat sastra Agus R Sardjono, belum ada lagi sajak semesra dan seindah itu mengenai Jakarta. Hampir tidak bisa dibayangkan bahwa penulisnya adalah orang Jawa Barat dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Jawa.
Bersama Ramadhan KH, Rendra dan Sapardi Joko Damono dikenal sebagai salah satu tonggak sastra Indonesia pada periode 1950-an dengan ciri masing-masing. Namun nama Toto Sudarto Bachtiar kemudian seolah-olah terlupakan”sejarah. “
Toto Sudarto Bachtiar yang biasa dipanggil Kang Toto adalah penyair yang sangat dikagumi oleh para penulis remaja, sejak akhir tahun 1950-an. Hampir tiap kali ada kegiatan lomba baca puisi (deklamasi) antar pelajar Jawa Barat, maka puisi gubahannya selalu menjadi wajib. Penampilannya sangat sederhana, sampai di hari-hari terakhir hidupnya ia tidak pernah terlihat memakai sepatu, kecuali sepatu olah raga. Kebiasaannya, memakai sandal atau sepatu sandal. Kesukaannya adalah bepergian memakai kendaraan umum atau angkot. Kadang-kadang diantar sopir keluarga, hanya didrop ke tempat tujuan.
Toto Sudarto Bachtiar wafat di usianya yang ke-78 tahun, di Desa Cisaga, Kota Banjar, Jawa Barat.
Subscribe to Literanesia
Get the latest posts delivered right to your inbox