/ artikel

Sarapan Pagi, Sastra dan Kemerdekaan

Sarapan Pagi,
Sastra dan Kemerdekaan
Kita tidak usah ikut ke KPU, dan tinggalkan moment pemilihan cawapres-cawapres, karena sudah ada semua, dan tinggal menunggu saat pilpres mendatang dengan memilih pilihan kita di TPS.
Sebagaimana dalam sejarah sastra kita, sastrawan-sastrawan Indonesia turut ambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan. Mereka ada yang terlibat dalam perjuangan fisik melawan penjajahan dan banyak yang melalui tulisan-tulisannya yang sangat besar dalam membangun mental perjuangan kemerdekaan
Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H. atau yang lebih dikenal dengan Mohammad Yamin merupakan salah satu pahlawan nasional Indonesia. Mohammad Yamin merupakan seorang sastrawan, sejarawan, budayawan, politikus dan juga ahli hukum. Mohammad Yamin lahir pada 24 Agustus 1903 di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat. Mohammad Yamin merupakan salah satu perintis Indonesia dan juga pelopor Sumpah Pemuda.
Pada 1920-an Mohammad Yamin memulai kariernya di bidang kesusastraan dengan menjadi penulis. Karya pertama yang ditulis yamin mengunaan bahasa melayu yang ia tulis dalam jurnal Jong Sumatera dan karya awalnya yang lainnya masih terikat dalam bentuk bahas melayu klasik.
Pada tahun 1922, Yamn muncul sebagai penyair dengan karya puisinya yang berjudul Tanah Air. Tanah air merupakan himpunan puisi modern pertama yang pernah diterbitkan. Pada 28 Oktober 1928, himpunan kedua milik yamin yang berjudul Tumpah Darahku muncul. Pada tahun yang sama karyanya dalam bentuk drama dengan judul Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa juga muncul.
Dalam bidang kesusastraan, Yamin telah menerbitkan banyak karya dalam bentuk drama, esei, novel sejarah, dan puisi. Yamin juga menerjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan Rabindranath Tagore.
Berikut karya Muhammad Yamin yang sangat terkenal : Ken Arok dan Ken Dedes:
Ken Arok dan Ken Dedes (1951) Karya Sastra Ken Arok dan Ken Dedes merupakan nama raja dan permaisuri di Kerajaan Singosari yang diterbitkan menjadi sebuah buku oleh Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, tahun 1951, dengan tiras sebanyak tiga ribu eksemplar dan jumlah halaman sebanyak 68 lembar lengkap dengan halaman kata pengantar. Diangkat menjadi judul drama Muhammad Yamin dan pertama kali dipentaskan pada puncak acara Kongres Pemuda (Sumpah Pemuda), 28 Oktober 1928. Enam tahun kemudian, drama tersebut dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe (1934) pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana. Drama ini mengangkat masalah perjuangan dan kehidupan Kerajaan Singosari yang pernah jaya pada masa lalu. Temanya adalah rasa keadilan harus ditegakkan. Dalam drama itu, antara lain, diperlihatkan keadaan suatu sidang kerajaan menanggapi situasi negeri. Pada suatu hari di Bangsal Witana, Kerajaan Singasari, sedang digelar rapat pengangkatan seorang putra mahkota. Rajasa-nama lain Ken Arok setelah menjadi Raja Singasari-bersikukuh hendak memilih Mahisa Wong Ateleng untuk menjadi putra mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukannya di singgasana Kerajaan Singasari. Namun, para pembesar istana yang lain seperti Mahamenteri Rakian Hino, Mahamenteri Sirikan, dan Mahamenteri Hulu lebih cenderung memilih Anusapati Panji Anengah. Alasan para pembesar kerajaan itu hanya Anusapatilah yang pantas menjadi putra mahkota karena anak sulung. Ken Arok tetap memilih Mahisa Wong Ateleng, adik Anusapati, sebagai putra mahkota tanpa memerinci lebih lanjut alasan yang menjadi dasar pemilihannya itu. Anusapati kecewa atas keputusan ayahandanya itu. Suatu hari ketika Anusapati sedang merenungkan hal itu, datanglah ibunya, Ken Dedes. Ken Dedes memberi tahu kepada Anusapati tentang siapa sebenarnya dirinya itu dan siapa pula ayahnya itu. Atas pemberitahuan ibunya itu, Anusapati baru mengetahui bahwa Ken Arok bukanlah ayah kandungnya. Ayah kandungnya adalah Tunggul Ametung yang telah dibunuh oleh Ken Arok dengan sebilah keris Empu Gandring. Akhirnya, Anusapati menuntut balas atas kematian ayahnya. Di Bangsal Witana kembali digelar rapat penobatan putra mahkota yang akan segera menggantikan Ken Arok. Dalam rapat itu terjadi perdebatan yang sengit dan tajam. Brahmana Lohgawe, penasihat kerajaan, ikut serta dalam rapat penobatan putra mahkota tersebut. Atas desakan Brahmana, akhirnya Ken Arok menyadari bahwa apa yang pernah dilakukannya pada masa lampau merupakan kesalahan. Sebagai seorang ksatria, ia harus berani mengakui semua kesalahan yang pernah diperbuatnya. Oleh karena itu, Ken Arok pun berani mati di ujung keris Empu Gandring setelah Singasari berhasil dipersatukan. Ken Arok menerima hukuman mati sesuai dengan kesalahan yang pernah diperbuatnya. Namun, sebelum menjalani hukuman mati itu, Ken Arok lebih dahulu telah memikirkan kelangsungan hidup negerinya. Hal itu terbukti dengan adanya pengangkatan putra mahkota, Anusapati, menjadi Raja Singasari yang menggantikan dirinya. Sepeninggal Ken Arok, Ken Dedes pun ikut bunuh diri sebagai tanda kesetiaan istri kepada suaminya. Peneliti dan kritikus sastra menggolongkan drama ini sebagai karya Angkatan Pra-Pujangga Baru. Buku Citra Manusia dalam Drama Indonesia Modern 1920-1960 (Santosa, 1993) dalam pokok bahasan "Hubungan Manusia dan Masyarakat" menyatakan bahwa drama ini merupakan perwujudan citra manusia yang berusaha menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
(Sumber Enklopedia Sastra Indonesia Badan Bahasa)
(Rg Bagus Warsono)
366662867_6460929323983444_5552718901179992891_n