/ Artikel Sastra

Menjadi Penyair, Hanya Sebatas Pelengkap Penderita : Wawan Hamzah Arfan

Menjadi Penyair, Hanya Sebatas Pelengkap Penderita
: Wawan Hamzah Arfan
Seperti yang pernah saya sampaikan pada Komandan Lumbung Puisi RgBagus Warsono, bahwa penyair itu pada umumnya orang bermasalah. Lantas ada pertanyaan, "Bukankah setiap orang yang bukan penyair juga bermasalah? " Jawabannya betul, bermasalah juga. Hanya saja, masalah yang dihadapi penyair itu unik, pelik, antik, dan kadar egonya berdosis tinggi. Atas dasar itu, sebagai konsekuensi saya menyatakan bahwa penyair itu bermasalah, akan saya sampaikan pengakuan saya menjadi penyair juga karena bermasalah.
Pada waktu saya duduk di bangku Sekolah Dasar, ketika ditanya tentang cita-cita, saya menjawab menjadi dokter, pilot, atau guru. Tidak pernah bercita-cita menjadi penyair, karena tidak tahu penyair itu apa? Makanya tulisan ini saya beri judul "Menjadi Penyair, Hanya Sebatas Pelengkap Penderita". Ya, hanya sebagai pelengkap. Itu pun terserah kejujuran penyair mengakui atau tidak.
Terlepas dari pengakuan penyair lain bermasalah atau tidak, itu urusan lain dan tak penting. Karena yang penting bagi saya adalah bahwa saya jadi penyair karena bermasalah. Artinya, selama perjalanan hidup saya sejak kecil sampai dewasa penuh dengan tekanan, baik tekanan ekonomi keluarga maupun tekanan sosial masyarakat.
Tekanan ekonomi keluarga yang saya alami begitu menyiksa batin. Karena saya dilahirkan dari keluarga yang boleh dibilang kurang mampu jika dibandingkan dengan saudara-saudara saya dari keluarga ibu maupun ayah. Pada saat berkumpul bersama keluarga, saya merasa terasing dan bukan siapa-siapa. Sehingga masa kecil saya dihantui oleh perasaan minder, dan lebih memilih menjadi penyendiri.
Kegelisahan hidup saya makin tak karuan ketika saya memasuki sekolah menengah atas, tepatnya di bangku SPG (Sekolah Pendidikan Guru) atas keinginan ibu. Sejak saat itu, agar kegelisahan hidup yang saya alami tidak semakin memburuk, yaitu mengalihkannya dengan membaca buku, dan mulai menulis puisi sebagai alat untuk melepaskan belenggu hidup yang terus mencengkram.
Dari masa kecil yang kurang bahagia itulah saya menulis puisi sebagai obat peredam untuk mengurangi rasa sakit dalam menjalani hidup dan kehidupan ini. Atau lebih ekstrim menulis puisi hanya sebuah pelarian. Karena itulah menulis puisi bagi saya boleh dikatakan hanya sebatas pelengkap penderita. Makanya saya berkesimpulan dan punya keyakinan kuat, bahwa semua penyair menulis puisi pada dasarnya bermasalah dalam hidup. Walau keyakinan itu tidak bisa sepenuhnya benar, tapi setidaknya mendekati kebenaran.
Kini, keadaan hidup saya sudah tidak lagi berada di bawah garis kemiskinan, karena saya mempunyai pekerjaan tetap sebagai Pegawai Negeri Sipil. Namun tetap saja bermasalah, dan masih merasa gelisah dengan situasi dan kondisi yang ada di lingkungan sekitar terlihat makin memprihatinkan. Makanya saya masih bertahan untuk menulis puisi. Seorang penyair akan terus menulis puisi karena dalam dirinya masih bermasalah dan terus dihantui kegelisahan. Tapi, jika kita menemukan ada seorang penyair telah menjadi sultan dan tidak lagi bermasalah dengan hidupnya, pasti Ia akan berhenti menulis puisi.
Sebentar lagi, tepatnya tanggal 1 Juli 2023 saya memasuki masa pensiun sebagai PNS. Namun saya tidak akan pensiun untuk menulis puisi. Sebab, menjadi seorang penyair tidak ada batasan untuk pensiun, selama masih menulis puisi. Begitulah, sebuah pengakuan singkat saya mengapa menulis puisi, ya karena hidup saya bermasalah. Namun tidak jadi masalah buat saya, jika tidak diakui sebagai penyair. Ciptakan sesuatu yang indah untuk hari ini dengan berkarya, untuk mengurangi kegelisahan hidup yang selalu bermasalah.
Cirebon, Maret 2023
336658812_9013071558767208_4858312776941471655_n-4