/ Artikel Sastra

Chairil Anwar, Semangat Pembaruan, dan Jaman Digital oleh: Wardjito Soeharso

Siapa yang menyangkal kalau Chairil Anwar disebut sebagai pelopor pembaruan sastra, terutama puisi, di Indonesia? Chairil adalah sastrawan muda yang berani mendobrak kebekuan format puisi. Dengan bertumpu kekuatan diksi, dia melemparkan alternatif lain untuk kekuatan puisi. Esensi estetika puisi tidak lagi terbangun dari rima tetapi menghunjam pada makna yang sepenuhnya jadi jiwa puisi itu sendiri. Bangunan puisi menjadi bebas, bahkan boleh dikata malah liar. Kebebasan dan keliaran itu membuat puisi semakin ekspresif, penuh tenaga, dalam menyampaikan pesannya kepada penikmatnya.
Ya, Chairil telah berhasil membawa puisi Indonesia modern yang bebas dan ekspresif. Dunia yang serba boleh, permisif, hampir tanpa garis batas lagi. Puisi Indonesia kontemporer saat ini, yang begitu kaya dengan model dan bentuk, tak lepas dari semangat pembaharuan yang diinisiasi oleh jiwa pemberontakan Chairil pada masanya.
Yang jadi pertanyaan, apakah semangat pembaharuan model Chairil itu masih terus ada sampai saat ini? Apakah puisi Indonesia modern terus berkembang dengan semangat mencari model dan bentuk yang lebih baik? Apakah ruh atau jiwa puisi Indonesia modern sampai saat ini juga terus tidak berhenti mencari kekuatan sebagai dasar pijakan jamannya?
Waktu terus berputar. Jaman terus berganti. Manusia terus berubah. Perubahan seperti apa yang sudah terjadi dalam puisi Indonesia di rentang delapan dekade sejak kemerdekaan?
Sastra, termasuk puisi, boleh dikata selalu bicara tentang jamannya. Karya sastra adalah refleksi kehidupan manusia pada jamannya. Kompleksitas kehidupan manusia tercermin pada kompleksitas tematik karya sastra yang dilahirkan jamannya. Maka, ketika kita bicara karya sastra jaman pergerakan kemerdekaan, pasti bertemu karya sastra bertema pergerakan. Ketika jaman menuntut pembaharuan, pasti karya sastra juga akan bicara tentang tuntutan pembaharuan. Intinya, sastra selalu kontekstual dengan kehidupan jamannya.
Ketika kita bicara tentang semangat pembaharuan yang diusung Chairil Anwar, tentu saja, kita tidak bisa lepas dari semangat pembaharuan yang dibawa jaman pada masa itu. Dekade-dekade awal kemerdekaan adalah tumbuh suburnya semangat untuk maju tak gentar bangsa dalam membangun mimpi masa depan. Semua orang mengalami euforia perasaan merdeka, bebas dari belenggu, bebas berpikir, bebas berekspresi, bebas bergerak! Dan semangat kebebasan mencari yang serba baru itu juga muncul di dunia sastra. Sastra bergeliat mencari bentuk baru yang mampu mewakili semangat berbipikir dan berekspresi bebas tanpa belenggu itu.
Pada jaman yang bergolak dengan semangat kebebasan inilah, Chairil Anwar hadir dan menemukan momentum yang tepat. Dia menawarkan model puisi bebas dengan kekuatan utama pada diksi untuk membangun makna puisi secara utuh. Setiap kata adalah kata terpilih yang punya peran memperkuat makna. Tidak seperti pada pantun yang baris-baris sampiran bisa saja tidak nyambung dengan baris-baris isi. Sampiran hadir hanya sebagai pelengkap estetika yang memberikan rima agar puisi terdengar enak di telinga karena ada rima dan irama. Chairil membongkar estetika seperti itu. Chairil yakin, setiap kata yang terpilih harus mewakili ide, gagasan, dan membangun isi pikiran yang utuh sebagai makna yang harus ditampilkan dalam puisi.
Pembaharuan Chairil ternyata diterima khalayak. Puisi model bebas yang ditawarkannya disambut dan menjadi semacam acuan puisi baru. Puisi-puisi Chairil dianggap tonggak dimulainya masa tumbuh kembang puisi modern, puisi kontemporer. Sampai hari ini!
Chairil lahir dan hidup pada jaman di mana kebebasan menjadi tuntutan. Semangat pemberontakan terhadap segala bentuk belenggu begitu menggelora di setiap dada. Maka, lahirlah karya-karya sastra berjiwa pembebasan. Bagaimana dengan jaman digital sekarang ini? Adakah korelasi antara keadaan jaman dengan jiwa karya sastra yang dilahirkan?
Tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Kompleksitas kehidupan sekarang ini sudah sangat tinggi. Tapi, tampaknya kompleksitas kehidupan itu belum tampak diikuti dengan kompleksitas karya sastra yang lahir. Sastra seperti terlambat menyambung koneksitas kontekstual antara imajinasi dengan dunia nyata.
Dalam beberapa hal, teknologi memang terlalu memanjakan manusia. Dengan teknologi, hidup menjadi begitu mudah, cepat berubah, berbiaya murah, dengan membuat hasil kerja juga menjadi lebih efisien dan efektif. Lihat ssja perkembangan sastra di jaman teknologi digital sekarang ini. Akses terhadap publisitas sangat mudah, cepat, murah, dan bila nasib sedang beruntung, popularitas itu juga bisa datang mendadak tanpa diduga, tanpa rencana.
Hadirnya media sosial memberikan kesempatan yang sama pada setiap orang untuk mempublikasikan karya. Media mainstream bukan lagi acuan untuk mengangkat karya dan nama. Media sosial seperti lampu aladdin yang sekali gosok bisa menghadirkan karakter jin yang siap membantu mewujudkan impian dan harapan. Media sosial menjadi panggung terbuka yang bisa dimanfaatkan siapa saja, untuk keperluan apa saja, tanpa rasa takut dan cemas, sesuai selera seperti di rumah sendiri.
Jadilah media sosial panggung terbuka untuk memuaskan selera sendiri, memanjakan ego, menyebar narsisme, sesuka hati. Media sosial penuh dengan unggahan "selfie" yang tak lain hanyalah cara ingin menarik perhatian, pamer sesuatu tentang diri sendiri. Tak peduli orang lain suka atau tidak. Yang penting, selfie!
Sastra Dunia Digital
Dunia internet, dunia maya, dunia digital, berkembang begitu pesat. Dunia digital jadi lompatan jauh ke depan dalam kehidupan manusia. Perubahan tidak lagi dalam hitungan dekade, tapi sudah dalam hitungan tahun. Setiap tahun selalu muncul perubahan yang memaksa manusia harus mengikuti kalau tidak ingin semakin jauh tertinggal. Dan, ke depan perubahan itu pasti semakin cepat lagi. Kalau saat ini, perubahan berbilang tahun, tidak lama lagi, perubahan itu terjadi dalam hitungan bulan. Dan akhirnya, perubahan jadi warna keseharian. Quantum leap!
Sungguh, perubahan itu memaksa manusia juga harus berpikir cepat, bertindak cepat. Tidak ada lagi istilah kesempatan hilang. Yang ada adalah kesempatan diambil atau dicuri orang. Ya, sekali terlambat bereaksi, orang lain yang akan mendahului. Itu sudah pasti!
Begitu pula dengan dunia sastra. Dunia digital membuat sastra menjadi milik semua. Kalau di masa lalu sastra itu dunia yang sangat eksklusif, seolah berada di atas puncak menara gading, sekarang sastra berada di mana-mana, menjadi milik siapa saja. Sastra adalah dunia inklusif, yang bisa dimasuki dan dijelajahi oleh siapa saja.
Maka, orientasi pemikiran sekarang adalah melihat dan melangkah ke depan. Masa lalu hanya catatan sejarah yang berfungsi sebagai pembelajaran. Tidak lebih. Masa lalu tidak perlu dihadirkan kembali. Romantisme masa lalu dianggap sebagai usaha penghalang untuk bisa maju lebih cepat ke depan.
Ya, waktu terus berjalan. Jaman terus berubah. Dan setiap jaman pasti punya puncak capaiannya sendiri. Chairil Anwar hidup dan berkarya pada jamannya. Dia berhasil mengukir puncak capaian karya pada jamannya. Begitu pula, dekade-dekade berikutnya, sastrawan bermuncullan dan melahirkan karya terbaik pada jamannya.
Begitu pun di jaman teknologi digital ini, yakin saja dunia sastra juga mengikuti perubahan jaman. Sastrawan jaman digital pasti berbeda dengan sastrawan jaman kemerdekaan. Semangat perubahan Chairil Anwar bisa saja tetap tumbuh dan eksis di jaman digital ini. Tapi, karena tantangan dan problematika jaman yang sudah berubah, semangat itu pasti muncul dalam energi dan format yang berbeda, yang sudah menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan jaman.
Kalau sekarang yang muncul baru semangat berselfie ria di dunia maya, ya tidak apa-apa. Kebutuhan saat ini mungkin kebutuhan mencari dan menarik perhatian publik. Pada saatnya, setelah perhatian, setelah pengakuan, tentu akan muncul tuntutan lebih kuat untuk beraktualisasi melalui karya. Ya, kebutuhan melahirkan karya terbaik mestinya akan muncul pada saatnya.
Sastrawan jaman digital pasti punya tuntutan dan kebutuhannya sendiri. Sastrawan jaman digital pasti juga akan melahirkan puncak capaiannya sendiri. Puncak capaian yang pasti sudah teruji oleh pikiran jaman yang dinamis penuh dialektika. Puncak capaian yang pasti berbeda dengan puncak capaian para pendahulunya di masa lalu. 24.07.2023 - 06:54
21.Wardjito-S