WARDJITO SOEHARSO MERANGKAI BERITA, CERITA,, DAN DERITA MENJADI SEBUAH KETAPEL (Bagian - 3)oleh: Wawan Hamzah Arfan
WARDJITO SOEHARSO MERANGKAI
BERITA, CERITA,, DAN DERITA MENJADI SEBUAH KETAPEL
(Bagian - 3)
oleh: Wawan Hamzah Arfan
Pada Bab 3 Wardjito Soeharso memberi judul News That Doesn't Make News!, masih bercerita seputar tokoh aku dalam memburu berita. Namun ada yang menarik di sini, ketika sang wartawan akan pulang ke pavilium, tak sengaja Ia melihat ada kecelakaan. Tentu saja sebagai seorang wartawan Ia langsung turun, barangkali saja bisa dijadikan berita. Ia melihat terjadi kecelakaan antara sebuah mobil mewah dengan sepeda motor. Pengendara mobil tidak terima dengan apa yang terjadi dan meminta ganti rugi kepada pengendara sepeda motor. Melihat gelagat dan tingkah pengendara mobil yang sok jago dan sok kaya, sang wartawan langsung merogoh ketapel disaku jaket, langsung mlintheng katapel dengan menggunakan kelereng. Karena memang Ia ahli dalam hal memainkan ketapel, butir kelereng tepat mengenai rahang bawah sebelah kiri.
Cukup menggelitik juga membaca cerita dalam Bab 3 ini, sampai-sampai imajinasi saya melayang liar, membayangkan sang tokoh aku itu tidak lain adalah pengarang sendiri sewaktu menjadi wartawan seperti itu. Selain itu pengarang sepertinya merasa jengkel, dan marah dengan situasi negeri ini yang semakin dalam jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Berita tentang seorang ibu yang membunuh kedua anaknya dianggap sebagai sampah. Berita yang tak pernah jadi berita. Begitulah kegeraman Wardjito dalam menyuarakan ketidakadilan, termasuk dunia jurnalistik dalam memilih dan memilah berita.
Pada Bab 4 ( Nakal Bukan Kriminal), saya merasakan tak ada cerita yang baru, sebenarnya dalam Bab 3 sudah diceritakan tentang seorang anak kecil bernama Arifin dan ibunya yang sakit-sakitan. Justru saya melihat pengarang terjebak oleh jalan cerita yang berputar-putar dan kembali ke belakang. Artinya, sub judul "Nakal Bukan Kriminal" sudah sangat jelas diceritakan pada Bab 1. Menurut pandangan saya sebagai pembaca apa yang ingin disampaikan pengarang dalam bab 4 sangat dipaksakan apalagi isi kurang dari empat halaman, seharusnya bisa masuk dalan Bab 3. Tapi yang pasti pengarang punya tujuan sendiri.
Sedangkan dalam Bab 5 dengan judul "Beri Aku Sedikit Saja", Wardjito Soeharso mulai menampilkan kembali kekhasannya sebagai seorang wartawan. Gaya bahasanya yang asyik, menarik, menggigit, kadang liar dan nakal. Tokoh aku kali kembali melakukan aksi nakal seperti pada waktu masih duduk di bangku SD dengan menggunakan ketapel mencuri mangga. Namun kali ini si aku mengkolaborasikan profesinya sebagai wartawan dengan bakat kenakalannya. Karena muak dengan situasi yang ada, melihat ketimpangan ekonomi yang semakin dalam, si aku mulai memainkan permainannya. Perasaan ibanya mulai terusik ketika melihat Mbok Maryam yang sakit-sakitan Ia merasa prihatin. Demi membantu pengobatan Mbok Maryam, Ia melakukan pemerasan kepada pejabat yang korup dan suka selingkuh.
Tokoh aku dalam melakukan aksinya tepat sasaran dan mengena, seperti kemampuannya memlintheng buah mangga dengan ketapel. Ia berhasil meminta dengan paksa uang sebesar lima belas juta untuk keperluan Mbok Maryam agar sembuh dari sakitnya. Gayanya boleh dibilang seperti film legendaris Robin Hood. Uang yang Ia dapatkan diberikan pada Mbok Maryam lewat tukang ojek. Ia tidak ingin diketahui Mbok Maryam kalau uang itu adalah hasil usaha nakalnya.
Cerita yang digambarkan Wardjito Soeharso dalam Bab 5 memang sangat menarik, hanya saja judul "Beri Aku Sedikit Saja" menurut hemat saya kurang pas, barangkali lebih pas "Nakal Bukan Kriminal". Atau mungkin ini gaya nakal Wardjito dalam memberi judul. yang tidak sesuai dengan pikiran pembaca. Tapi saya tidak akan menyimpulkan lebih jauh, karena masih ada bab lain dalam Novel "Ketapel" yang unik ini untuk saya ulas sampai tuntas. (Bersambung)