WARDJITO SOEHARSO MERANGKAI BERITA, CERITA,, DAN DERITA MENJADI SEBUAH KETAPEL (Bagian - 2)oleh: Wawan Hamzah Arfan

oleh: Wawan Hamzah Arfan
Wardjito Soeharso mengawali ceritanya dengan sub judul "Sidang Pengadilan" (Bab 1), mengisahkan tentang kenakalan anak-anak yang mencuri buah mangga dengan menggunakan ketapel. Dikisahkan Aku (Joko) dan temannya Bambang yang mencuri/mlintheng buah mangga milik Pak Joyo, dan dilaporkan pemiliknya ke Pemerintahan Desa. Kemudian kedua anak tersebut diadili di Pengadilan Desa. Di sini pengarang ingin menggambarkan suasana masa lampau, bahwa pengadilan di desa mampu menyelesaikan masalah dengan baik. Saya seperti merasakan kalau Aku (Joko) adalah cerita tentang pengalaman pengarangnya sendiri. Di sini Wardjito Soeharso ingin menyampaikan pesan moral, bahwa peran desa pada masa itu berjalan dengan baik. Berbeda dengan peran desa saat ini, bila ada permasalahan langsung ke kantor polisi, sudah tidak berlaku lagi yang namanya pengadilan desa.
Pada bab 1 ini pengarang berhasil menggambarkan suasana di desa yang begitu harmonis, sampai-sampai imajinasi saya pun seperti berada dan terlibat dalam suana persidangan itu. Ada beberapa pesan yang saya dapat dari sub cerita ini. Pertama, peran desa benar-benar berfungsi dalam membina dan melindungi masyarakat dengan adanya Pengadilan Desa. Kedua, peran Kepala Desa dalam pengadilan desa membentuk Tim Majelis Hakim begitu sederhana tapi tepat sasaran.
Ketiga, putusan pengadilan desa saat mengadili anak-anak nakal bisa diterima semua pihak, dengan hukuman membersihkan halaman sekolah, mushola dan halaman rumah pak Joyo Karena menurut majelis hakim yang terdiri dari pak Ustadz, pak Guru, dan seorang sesepuh masyarakat, menyimpulkan, bahwa "Anak-anak melakukan pencurian mangga dengan ketapel adalah sebuah kenakalan bukan kejahatan. Karena siapa pun orangnya, semasa kanak-kanak pasti pernah mencuri."
Wardjito Soeharso dalam menyuguhkan cerita tersebut sangat cermat dan apik. Hal ini adalah wajar karena pengarang adalah seorang wartawan, hingga mampu menggiring pembaca memasuki alamnya. Termasuk saya sendiri dibuat terjerat oleh pemikirannya, bahwa peristiwa tersebut sudah tidak akan berjalan di zaman seperti sekarang ini. Contoh sederhana, pada masa itu seorang guru benar-benar punya peran berarti. Tapi saat ini, guru sudah dikendalikan oleh apa kata orang tua murid, membentak sedikit apalagi memukul, guru bisa langsung dilaporkan bahkan bisa masuk penjara. Begitulah zaman, punya situasi dan kondisinya sendiri.
Pada Bab 2 (Wartawan), mengisahkan sang tokoh aku yang telah beranjak dewasa sebagai pemuda berambut gondrong dan berprofesi sebagai wartawan. Namun dalam cerita ini tak seasyik bab 1, yang bisa menggiring pembaca larut dalam suasana masa kanak-kanak. Sedangkan pada bab 2, saya sedikit merasakan lompatan-lompatan pengarang yang cukup membingungkan saya sebagai pembaca. Sebenarnya cerita yang dikemas pengarang sangat baik, tentang tokoh aku sebagai wartawan dalam menggali informasi atas kematian seorang pejabat di dalam hotel. Hanya saja ada beberapa masalah yang cukup mengganggu imajinasi saya.
Permasalahan yang cukup mengganggu imajinasi saya, di antaranya; Pertama, pengarang dalam menceritakan tentang sang tokoh aku sebagai wartawan tidak utuh. Di sini pengarang lebih banyak membumbui cerita dengan bayangan masa kecil yang jago dalam hal mlintheng menggunakan ketapel. Kilas balik cerita masa kecil cukup mendominasi.
Kedua, cerita dalam bab 2 ini seharusnya ada keselarasan situasi dan kondisi. Namun saya tidak melihat ada keselarasan waktu, atau mungkin saya kurang mampu menangkap lompatan imaji pengarang yang begitu tinggi. Pengarang seperti terburu- buru ingin mengangkat situasi saat ini. Menurut saya alangkah indahnya pengarang menceritakan sang tokoh wartawan pada masa itu, masa seorang Wardjito ketika itu pernah bekerja sebagai wartawan masih menggunakan mesin ketik, bukan laptop, dan bukan situasi pandemi covid. Uniknya dengan situasi saat ini, wartawan dalam mengejar berita masih menggunakan sepeda motor Yamaha 250 CC warna biru metalik yang terbilang motor langka. Sementara wartawan dalam memburu berita seperti paparazi harus mengikuti mobil mewah Toyota Fortuner. Sepertinya kalau yang diikuti mobil sedan Datsun atau Corona, yang sama-sama antik mungkin seimbang.
Ketiga, sang wartawan tinggal di pavilium, di sekitarnya ada kebun pepaya dan singkong tempat mengisi kepenatan sang wartawan untuk mlintheng dengan ketapel yang selalu Ia bawa. Pertanyaan saya, karena saya tidak paham betul tentang keadaan Semarang saat ini, apakah masih ada kebun yang masih dipelihara? Kemudian, si aku pergi ke pasar tradisional mencari kelereng untuk peluru ketapelnya. Sepengetahuan saya, di tempat saya tinggal, untuk mencari kelereng di pasar tradisional, sangat sulit. Mungkin di toko mainan tertentu masih ada, dan sangat repot mencari kelereng. Apalagi Zaman now seperti sekarang ini, anak-anak sudah tidak lagi main kelereng, tapi lebih tertarik main game di hape.Dan yang keempat, dalam cerita pada bab 2 ini sang Wartawan bekerja di surat kabar harian Kabar Semarang, apakah di Semarang masih ada surat kabar harian yang masih bertahan? Sementara media cetak saat ini sudah hampir tergerus oleh media online. Kalau pun ada mungkin terbit mingguan.
Permasalahan atau ganjalan pemikiran saya di atas dalam membaca dan menyimak novel Ketapel karya Wardjito Soeharso pada bab 2, bukan berarti pengarang salah atau tidak menarik dalam bercerita. Saya yakin Wardjito Soeharso punya alasan sendiri dalam bercerita seperti itu. Juga pembaca lain, akan punya pendapat yang berbeda dalam mengapreasiasi novel Ketapel. Yang pasti, masih ada 13 bab lagi yang perlu saya ungkapkan di sini. Kita belum tahu, bagaimana ending dari Ketapel ini, sehingga saya belum bisa menyimpulkan secara keseluruhan.
(Bersambung)