Rindu Kelana, Sitor Situmorang
Kaliurang (Tengah Hari)
Kembali kita berhadapan
Dalam relung sepi ini
Dari seberang lembah mati
Bibirmu berkata lagi
Napasmu mengelus jiwaku
Tersingkap kabut Dataran
Dan kutahu di tepi selatan
Laut ‘manggil aku berlayar dari sini
Tungguhlah aku akan datang
Biar kelam datang kembali
Dengan angin malam aku bertolak
Ke negeri, kabut tidak mengabur pandang
Mati, berarti kita akan bersatu lagi.
Perhitungan
Buat Rivai Apin
Sudah lama tidak ada puncak dan lembah
Masa lempang-diam menyerah
dan kau tahu di ujung kuburan menunggu kesepian
Aku belum juga rela berkemas
Manusia, mengapa malam bisa tiba-tiba menekan
dada?
Sedang rohnya masih mengembara di lorong-lorong
Keyakinan dulu manusia bisa
hidup dan dicintai habis-habisan
Belum tahu setinggi untung bila bisa menggali
kuburan sendiri
Rebutlah dunia sendiri
dan pisahkan segala yamg melekat lemah
Kita akan membubung ke langit menjadi bintang
jernih sonder debu
Detik kata jadikan abad-abad
Abad-abad kita hidupi dalam sekilas bintang
Sesudah itu malam, biarlah malam
Bila hidup menolak
Ia kita tinggalkan seperti anak
yang terpaksa puas dengan boneka
Mereka akan menari dan menyanyi terus
Tapi tak ada lagi kita
Sedang mereka rindu pada cinta garang
Mereka akan menari dan menyanyi terus
Tentang abad dan detik yang ‘lah terbenam
Bersama kita, tarian perawan janda ….
Lereng Merapi
Kutahu sudah, sebelum pergi dari sini
Aku Akan rindu balik pada semua ini
Sunyi yang kutakuti sekarang
Rona lereng gunung menguap
Pada cerita cemara berdesir
Sedu cinta penyair
Rindu pada elusan mimpi
Pencipta candi Prambanan
Mengalun kemari dari dataran ….
Dan sekarang aku mengerti
Juga di sunyi gunung
Jauh dari ombak menggulung
Dalam hati manusia sendiri
Ombak lautan rindu
Semakin nyaring menderu ….
Dia dan Aku
Akankah kita bercinta dalam kealpaan semesta? - Bukankah udara penuh hampa ingin harga? -
Mari, Dik, dekatkan hatimu pada api ini
Tapi jangan sampai terbakar sekali
Akankah kita utamakan percakapan begini? - Bukankah bumi penuh suara inginkan isi? -
Mari, Dik, dekatkan bibirmu pada bisikan hati
Tapi jangan sampai megap napas bernyanyi
Bukankah dada hamparkan warna
Di pelaminan musim silih berganti
Padamu jua kelupaan dan janji
Akan kepermainan rahasia
Permainan cumbu-dendam silih berganti
Kemasygulan tangkap dan lari
Surat Kertas Hijau
Segala kedaraannya tersaji hijau muda
Melayang di lembaran surat musim bunga
Berita dari jauh
Sebelum kapal angkat sauh
Segala kemontokan menonjol di kata-kata
Menepis dalam kelakar sonder dusta
Harum anak dara
mengimbau dari seberang benua
Mari, Dik, tak lama hidup ini
Semusim dan semusim lagi
Burung pun berpulangan
Mari, Dik, kekal bisa semua ini
Peluk goreskan di tempat ini
Sebelum kapal dirapatkan
Amoy-Aimee
Terbakar lumat-lumat
Menggapai juga lidah ingin
Api di pediangan
Terkapar sonder surat
Mati juga malam dingin
Lahirnya hari keisengan
Mari, cabikkan malam Amoy
Jika terlalu – ingin malam ini
Besok ada mentari sonder hati
Belum apa-apa hampa begini
Jauh dalam terowongan nadi
Berperang bumi dan sepi
Kebun Binatang
Kembang, boneka dan kehidupan
Kembang, boneka dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Si anak ini punya ketakutan
Hari-hari kemarin
Punya keinginan
Berumah ufuk, ombak menggulung
Hari-hari kandungan
Tolak keisengan
Ramai-ramai di kebun binatang
Kembang, boneka dan kehidupan
Kembang dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Boneka ini punya kesayuan
Hari-hari datang
Hari kembang di kebun binatang
Hari bersenang
Pecah dalam balonan
Kembang, boneka dan kehidupan
Kembang dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Boneka ini punya kesayuan
Matahari Minggu
Di hari Minggu di hari iseng
Di silau matahari jalan berliku
Kawan habis tujuan di tepi kota
Di hari Minggu di hari iseng
Bersandar pada dinding kota
Kawan terima kebuntuan batas
Di hari panas tak berwarna
Seluruh damba dibawa jalan
Di hari Minggu di hari iseng
Bila pertemuan menambah damba
Melingkar di jantung kota
Ia merebah pada diri dan kepadatan hari
Tidak menolak tidak terima
Chathedrale de Chartres
Akan bicarakah Ia di malam sepi
Kala salju jatuh dan burung putih-putih
Sekali-sekali ingin menyerah hati
Dalam lindungan sembahyang bersih
Ah, Tuhan, tak bisa kita lagi bertemu
Dalam doa bersama kumpulan umat
Ini kubawa cinta di mata kekasih kelu
Tiada terpisah hidup dari kiamat
Menangis ia tersedu di hari Paskah
Ketika kami ziarah di Chartres di gereja
Doanya kuyu di warna kaca basah
Kristus telah disalib manusia habis kata
Ketika malam itu sebelum ayam berkokok
Dan penduduk Chartres meninggalkan kermis
tersedu is dalam daunan malam rontok
Mengembara ingatan di hujan gerimis
Pada ibu, isteri, anak serta Isa
Hati tersibak antara zinah dan setia
Kasihku satu, Tuhannya satu
Hidup dan kiamat bersatu padu
Demikianlah kisah cinta kami
yang bermula di pekan kembang
Di pagi buta sekitar Notre Dame de Paris
Di musim bunga dan mata remang
Demikianlah kisah dari Pasah
ketika seluruh alam diburu resah
Oleh goda, zinah, cinta dan kota
Karena dia, aku dan isteri yang setia
Maka malam itu di ranjang penginapan
Terbawa kesucian nyanyi gereja kepercayaan
Bersatu kutuk nafsu dan rahmat Tuhan
Lambaian cinta setia dan pelukan perempuan
Demikianlah
Cerita Pasah
Ketika tanah basah
Air mata resah
Dan bunga-bunga merekah
Di bumi Perancis
Di bumi manis
Ketika Kristus disalibkan
The Tale of Two Continents
Satu rasa dua kematian
Satu kasih dan dua kesetiaan
Antara benua dan benua
Tertunggu rindu samudra
Dua kota satu kekosongan
Dua alamat satu kehilangan
Antara nyiur dan salju
Merentang ketakpedulian tuju
Semoga kasih tahu jalan kembali
Pada pintu yang membuka dinihari
Ke mana angin membawa diri
Kekasih, semoga kau
Dapat kepenuhan cinta dalam aku tiada
Terpecah dua benua, suatu kelupaan di sisik samudra
Lagu Gadis Itali
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja di bukit Itali
Jika musimmu tiba nanti
Jemputlah abang di teluk Napoli
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Sadari abang lalu pergi
Adik rindu setiap hari
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Andai abang tak kembali
Adik menunggu sampai mati
Batu tandus di kebun anggur
Pasir teduh di bawah nyiur
Abang lenyap hatiku hancur
Mengejar bayang di salju gugur
Silsilah
Untuk Pamusuk dan Wing Kardjo
Inilah tempatku lahir. Tempat berkubur barangkali
Hayat dalam kandungan. Lembah purba,
jalan setapak di celah batu-batu.
Langit, gunung, silsilah kaum.
Bunda tak tercatat. Tapi selalu hadir.
Kakek – tengkoraknya – tinggi
Di pundak gunung berjemur.
Kisah negeri terjal:
Bunga di atas batu.
Lakon lembah kekal
dibuai Waktu.
Et in Arcadia Ego
untuk Christopher dan
Soo Lee Gallop
di Pulau Pinang
Memenuhi panggilan peradaban megalitik
aku berziarah Stonehenge pusat kramat
susunan batu-batu karang perkasa
di bentangan bukit-bukit Wiltshire Somerset
Inggeris-Selatan zaman prasejarah:
Stonehenge. Silbury Hill, Sanctuary
di Avebury.
Di bayangannya aku termenung
dalam cahaya musimpanas dan
gema gaung kerinduan batin
para leluhur yang
membimbing aku
dalam bacaan:
Et in Arcadia Ego!
mengayun bergelombang
serupa bukt-bukit Wiltshire
Somerset dan samudra lepas
di pantai Cornwall
menyambut irama pasang surut
hidup dan mati
di langit matahari tenggelam
dan janji bulan sabit
di langit Devon
I too was once in Cornwall
untuk Maxime dan Annabel
Sebuah tamasya mesra
dari celah ngarai
ke teluk Millook:
Sebuah villa bernama Penrosa
dikelilingi pepohonan rimbun
dab rumput musim bakal berakhir.
Aku belajar berkata:
Itu di muka adalah samudra.
Di sebelah kanan bukit landai.
Debur arus samudra di pantai.
Batu-batu lonjong halus terasah.
Hasil cinta ribuan tahun.
Samudra. Pantai batubatuan.
Bukit. Jalan setapak
ke punggung bukit.
Kehadiran mutlak. Sempurna.
Menyelimuti diriku
terangkat bebas
dari gayaberat bumi
ke dalam Arcadia yang pernah.
Arcadia yang akan.
Akupun bernyanyi:
I too was once in Cornwall!
Jalan-jalan di antara belukar
ngarai Millook
dibuai mantra
surga sehari!
** Sitor Situmorang lahir di Harianboho, Samosir, Sumatera
Utara 2 Oktober 1924. Sitor sempat menetap di Paris. Pada 1981 menjadi dosen di
Universitas Leiden, Belanda, dan pensiun 10 tahun kemudian. Sejak 2001 ia
kembali tinggal di Indonesia.
Beragam karya sastra Sitor yang sudah diterbitkan, antara lain Surat Kertas
Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Drama Jalan
Mutiara (1954), cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956), dan terjemahan
karya dari John Wyndham, E Du Perron RS Maenocol, M Nijhoff. Karya sastra
lain, yang sudah diterbitkan, antara lain puisi Zaman Baru (1962), cerpen
Pangeran (1963), dan esai Sastra Revolusioner (1965).