RAK KAYU BUKU BISU Oleh: Heru Patria

RAK KAYU BUKU BISU
Oleh ; Heru Patria
Deretan rak kayu, diam membisu. Buku-buku berdebu, berjajar pamerkan wajah sayu. Lungset. Pamerkan judul-judul menawan walau tak mampu menarik perhatian. Lalu lalang orang, melengos lebih fokus pada sebatang ponsel di tangannya.
Buku-buku terisak di sudut kesepian. Telah pudar pesonanya digerus kemajuan jaman. Tangis buku, adalah air mata para penulis. Menghabiskan tenaga dan pikiran, menciptakan sebuah kisah. Sepi tak tersentuh oleh sesamanya. Buku terkulai. Lesu. Penulis meradang kehilangan nafsu. Terlalu lelah dicumbui imajinasi.
Di sudut pustaka, seorang pegawai berwajah manis menahan tangis. Merasa memakan gaji buta atau mengkhianati profesinya. Dia yang setiap hari bergelut dengan buku. Tapi merasa tak punya waktu untuk bersetubuh dengan buku-buku. Energinya tersedot pada dunia maya. Media sosial lebih memesona dalam pandangan netra.
Pada tragedi pergeseran nilai seperti ini. Di mana keberadaan buku hanya dianggap sepi. Sakit paling pilu tertancap di hati penulis. Minat baca manusia anjlok. Penulis terseok-seok. Hingga beruban merawat eksistensi. Dengan sisa tenaga. Berjuang. Tetap kibarkan bendera literasi.
Hingga matahari tergelincir di ufuk barat. Pegawai pustaka dan penulis belum capai mufakat. Akankah masa depan buku akan kembali terangkat. Menaikkan martabat. Di atas slogan literasi untuk kesehahteraan, pegawai pustaka dan penulis terjerembab pada tumpukan. Tuk sekadar menghibur diri sendiri.
Rak kayu terdiam. Buku membisu. Pegawai pustaka kehilangan syahwat. Penulis masturbasi di antara tumpukan ide hebat. Tak punya tempat memadai. Tuntaskan hasrat berliterasi. Sesuai kata hati.
Blitar, 18 September 2023