PEREMPUAN BERSUAMI PUISI, Heru Mugiarso

SYAHDAN sejak ditinggalkan suami yang dikasihinya lantaran berpulang, perempuan tua itu memutuskan untuk menikah lagi dengan puisi. Dia merasa tak perlu seorang lelaki hanya sekadar untuk mencintai. Apakah dia trauma? Rasanya tidak. Almarhum suaminya adalah lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Hanya satu kekurangannya, Suaminya tak paham dan tak mau mengerti betapa indahnya puisi. Selama mereka bersama dahulu, suaminya terlalu acuh tak acuh dengan membiarkannya sendiri bercinta dengan kata-kata.Memang, selama itu suaminya tak pernah sekalipun melarang. Bahkan cenderung membiarkannya sendiri di kamar menuliskan frasa-frasa yang hanya sanggup dia nikmati. Sudah berapa buah buku penuh dengan tulisan tangan yang lalu disimpannya dengan rapi di laci.
Sejak gadis, perempuan itu memang penyuka puisi. Tidak berhenti di situ. Sejak menikah dia mulai menuliskannya, meski terbatas hanya dinikmatinya sendirian. Setiap momen yang dialaminya selalu berbuah satu dua bait puisi. Maka, tak heran hampir tiap hari ia menuliskan puisi. Ada puisi yang ditulisnya secara spontan, ada yang sejenak diendapkan lewat perenungan.
Satu demi satu, anaknya lahir ke dunia. Dan itu tak mampu menghentikan kegemarannya menulis puisi. Bahkan semakin menjadi-jadi. Kerewelan anak-anaknya yang masih balita pada waktu itu terkadang jadi inspirasi yang menggairahkan nalurinya buat menulis. Juga, pertengkaran-pertengkaran kecil dengan suaminya menjadi larik-larik yang indah ketika dibaca ulang kembali. Perempuan itu hanya seorang ibu rumah tangga, namun itulah yang menjadikannya leluasa.
Berbeda dengan zaman dulu, kini seorang penyair bisa secara swadaya menerbitkan antologi puisi. Perempuan itu tak segan menabung dari hasil menyisihkan pensiunan suaminya almarhum untuk menerbitkan buku yang memuat puisi-puisinya. Hebatnya lagi, alih-alih dijual, dia bagikan kepada teman-teman sesama penulis dengan ikhlas.
Suatu hari anak sulungnya yang sudah berkeluarga berkata: “Ibu, ibu kan tahu kalau lagi sakit. Itu batuknya tidak juga berhenti. Tetap jadi berangkat?”
“ Maksudmu, ke pertemuan penyair di luar kota itu?” jawabnya sambil sesekali terbatuk.
Si sulung pun mengangguk.
“ Ibu tetap berniat pergi, Ibu sudah berjanji akan bertemu dengan kawan-kawan baik Ibu.”
“ Bagaimana kami tidak mengkawatirkan ibu? Kami keberatan.”
Bukannya dia tidak tahu alasan keberatan anak-anaknya , tapi ada alasan yang mungkin tidak sepenuhnya dimengerti oleh anak-anaknya.
Kebahagiaan. Ya kebahagiaan yang mungkin juga tidak bisa dipahami oleh kebanyakan orang. Rasa yang mungkin hanya bisa dirasakannya sendiri. Rasa yang sanggup membuat dia tetap bertahan menikmati kehidupan di sisa-sisa umurnya.
Seperti biasanya, ia membayangkan akan disambut penuh kesuka citaan oleh teman-teman komunitasnya. Bermalam dan tidur ala kadarnya di tempat pertemuan sastra yang telah diagendakan. Semalaman bisa ngobrol atau diskusi dengan para sahabatnya.Diselingi pula canda tawa berkepanjangan. Dia begitu menikmatinya.
Lain halnya kalau di rumah. Ketika anak-anaknya sudah berkeluarga, rasanya ada yang hilang. Anak-anaknya sudah mempunyai dunia sendiri yang tak mungkin diganggu. Zaman telah berubah, kemandirian harus diperjuangkan sendiri oleh kaum lansia.Tidak mungkin menyandarkan pada anak-anak mereka. Terutama soal kebahagiaan. Ada yang memang memasuki masa lansia dengan mendekatkan diri pada Tuhan, Sang Pencipta. Tetapi, tidak bisa satu ukuran dikenakan kepada semua. Setiap orang punya kedaulatan pribadi. Terutama soal passion.
Tak ada pesta yang tak usai. Sore itu, Dia pulang ke kota asalnya. Tiket kereta api telah di tangan. Sejenak ia masih termangu duduk di peron stasiun. Sesekali masih terlintas ingatan membahagiakan bersama dengan para penyair sahabatnya dalam acara yang baru saja usai kemarin malamnya. Terbayang saat diminta maju ke panggung membacakan puisinya, sebelum sebuah tanda mata diterimanya dari panitia. Tanda mata bukan sebarang tanda mata. Tanda mata sederhana terbuat dari kayu yang bertuliskan namanya sebagai penghargaan sebagai seorang penyair wanita yang setia berkarya. Tak terasa airmata meleleh pada sepasang pelupuk matanya yang telah keriput. Dia tak mampu menggumam. Hanya hatinya yang tak henti bersyukur.
Sepanjang perjalanan ke kotanya, ia hanya terdiam. Sesekali buku antologi puisi dibuka halaman demi halaman . Dicernanya dengan seksama isinya. Sampai tak terasa kenyamanan perjalanan dengan naik kereta api membuatnya terlelap.
Keesokan harinya, sebuah koran digital memuat berita : Telah diketemukan dalam sebuah gerbong kereta api jurusan kota S, seorang perempuan lanjut usia duduk di kursinya, namun telah tak lagi bernyawa dengan memeluk sebuah buku yang diduga sebuah antologi puisi .Tidak ditemukan bekas-bekas penganiayaan . terbukti jasadnya tetap dalam posisi duduk tenang dengan mata terpejam.Meninggalkan sisa senyum tanpa ada sedikitpun kesakitan.
Semarang,2023