Pengantar Antologi Corona
Pengantar Antologi
Ada sesuatu yang belum penulis dibangkitkan yaitu memberikan suguhan puisi sekaligus pengetahuan. Tema Corona dengan kesehatan tampak begitu melekat. Bagaimana penulis menyuguhkan kata-kata baru dibidang kesehatan namun memberi makna puisi yang menarik. Berikut Puisi yang dikarang Rut Retno Astuti judulnya sangat bagus " Doa Kami dari Klinik Ini" kata 'klinik memberi kata baru dibidang kesehatan, Sayang Rut Retno Astuti kurang menyuguhkan kata baru lainnya meski banyak disebut, misalnya alat pelindung diri, pencegahan dsb bila menggunakan kata baru menjadikan puisi lebih dalam dengan memiliki arti dari tiap kata baris dan baitnya.
Doa Kami dari Klinik Ini
//Ya Tuhan, dari ruang periksa, kami berdoa
Jauhkan kiranya kami dari keganasan Corona
Dari sergap maut dan ketiadaan tersia-sia
Agar banyak orang yang tertolong kesehatannya
Meski telah banyak tokoh baik, menjadi korbannya
Kondisi klinik dan pasien panik, merubah suasana
Alat pelindung diri dan pencegahan, apa adanya
Kami tetap melayani dalam doa sepenuh jiwa
Anugerahi kami keberanian dan iklas tak terbatas
Agar kami tangguh dan bungkam nyinyir tak jelas
Kami amini, badai ini cepat berlalu, tak berbias
Agar kami pulih, hidup tulus tanpa luka berbekas//
Puisi terkadang menyuguhkan alur, sebuah cerita namun tak lepas tetapi luas. Apresiasi milik pembaca, apresiasi yang beraneka menjadikan banyak pendapat diberikan. Apresiasi didapat karena memang menarik. Adalah Is Mugiyarti penyair dari Sragen ini sanggup membentuk puisi bertema corona dengan cukup baik dan enak dibaca. Maksud yang cukup istimewa ini meski belum seperti "Karangan Bunga" karya Taufiq Ismail , silahkan bandingkan. Namun demikian Is Mugiyarti telah memberikan hal istimewa dalam buku ini.
Sapu
//pekiknya riang
ditolaknya terlalu kencang
ke bawah sepatu bapaknya
patah jadi dua
ditimangnya
pensil tak bisa diraut
sedang buku-buku
diam masam
pun bapaknya datang
dua pensil disorongkan
pensil terserut
dipilin-pilin
cemas tergigit
dan suatu malam
anak itu
demam terbatuk covid//
Bandingkan dengan karya Taufiq Ismail berikut ini:
Karangan Bunga,
Tiga anak kecil..
Dalam langkah malu-malu..
Datang ke salemba..
Sore itu…
Ini dari kami bertiga..
Pita hitam pada karangan bunga..
Sebab kami ikut berduka..
Bagi kakak yang ditembak mati..
Siang tadi…
Adalah Salman Yoga S penyair aceh yang berbakat dan pernah diundang di Kongres Sastrawan II di Jakarta beberapa tahun lalu. Salman memang penyair jempolan . Kearifan lokal di daerahnya menjadikan sumber inspirasi yang tidak akan habisnya. Dalam masa corona ini ia padukan kearifan lokal itu dengan corona. Di daerah terpencil tempat tinggalnya ia buktikan dengan puisi dengan mengangkat kopi sebagai produk unggulan di sana untuk dikenalkan , bahkan di masa corona ia sanggup memberikan puisi yang menawan. Pilihan kata yang bagus menandakan kepiawaian Salman dalam mencipta syair.
Corona Kota, Kopi Kampung
//Berdiam di pekebunan tidak sepi dari mikroorganisme
Menyuburkan tanah menghijaukan dedaunan
Bakteri-bakteri bermutualisme dengan tetumbuhan dan manusia
Damai bersama alam dan segala makhluk
Kopi kampung mengakrapkan segala musim
Berdiam di kota riuh dengan corona
Wabah virus yang takuti semua negara
Pagi siang senja hingga malam penuh waspada
Bahkan yang bertutup mulutpun curiga
Karena ia bisa berpindah dengan segala benda
Bersimbiosis parasitisme di dalam raga
Kupilih bermaustin di Vilar Wih Ilang
Perkebunan kopi yang selalu setia menerima dan memberi/
/Melafal gelisah menyaksikan matahari timbul dan tenggelam
Mengakrapi setiap perdu-perdu dengan nafas kehidupan
Bersimbiosis netralisme di bawah langit berpayung awan//
Bagaimana membangun ide judul puisi adalah bagaimana mata dan mata hati memandang kehidupan di alam ini. Sangat banyak garapan ide puisi namun banyak penulis terbelenggu oleh tema yang disuguhkan, Padahal tema itu menyuguhkan yang sangat luas disamping objek juga dampak dan penyebab. Arinya tema dapat ditarik kebelakang bahkan ke depan.
Sebagai contoh, misalnya tema corona yang sangat luas ini tentu ada dampak dari tema misalnya ketika anak-anak diliburkan, maka banyak judul yang ringan namun mengena dan merupakan sesuatu yang baru. Misalnya "Kangen Sama Ibu Guru".
Mari kita simak puisi berjudul Jantung Jogya. Karya Heru Mugiarso. Entah mengapa Heru menyebutkan Jogya bukan Jakarta. Meski demikian puisi ini termasuk unik ketika tema yang disuguhkan ia menatap bagaimana kehidupan di sebuah kota (Jogyakarta) akan dampak corona.
Gaya Heru demikian apiknya sebagai seorang penulis senior, sehingga puisi ini mengundang apresiasi tinggi. Bahkan Heru menulisnya ketika dengng corona mulai dibicarakan. Mari kita simak puisinya :
Jantung Jogya
//Pageblug Covid -19
Apakah Jantung Jogya berhenti berdenyut
Ketika debarnya kaubaca sebagai romansa percintaan
Antara para pelancong, penjaja nasib dan puisi elegi
Yang dinyanyikan para pengamen jalanan?
Senja adalah nostalgi
Tertulis pada ribuan tilas jejak kaki
Tapi tidak pada saat kini
Ketika udara bertuba tibatiba berubah jadi buruk mimpi
Apakah sesuatu yang viral ketika nafas mendadak tersengal?
Dan di jantung Jogya yang sibuk kau cari pada halaman peta itu
Seolah meramal ada yang harus hilang dan terpenggal//
Senada dengan penyair Heru Mugiarso. Penyair Jakarta Giyanto Subagio dengan puisi pendek yang sangat apik ia menatap wajah Ibu Kota Jakarta.
Giyanto Subagio yang dikenal sebagai pembaca puisi ini juga mencatat bahwa situasi ibu kota di masa corona demikian mencekamnya. Mari Kita simak puisi bagus ini :
Virus Corona Realitas 2020
//Copid 19 mengetuk pintu rumahmu bagai hantu kelam yang begitu menakutkan.
Di ujung gang tak ada tanda
kabung, kecuali jalan setapak yang sunyi dan mencekam.
Malam bulan kehilangan cahaya kehidupan. Sebab, lampu-lampu kota pucat pasi serupa tarian mayat-mayat.
Sirine ambulance meraung-raung membelah kota Jakarta yang sepi bak kota mati.//
Penyair lainnya menulis bagus diantaranya Salimi Ahmad.Dalam antologi corona ini ia menulis bagus puisi yang cukup panjang namun baris dan baitnya tampak bernas. Banyak orang menulis puisi panjang namun bait baitnya kadang sama arti dengan bait sebelumnya sehingga menjenuhkan. Tidak demikian bagi penyair Betawi yang akrab dipanggil "Encang" ini berikut puisinya mari kita simak.
Pandemi Covid 19
//otakku ini sepertinya harus dicuci
bukan dengan rinso atau bayclean
yang konon terbukti ampuh
membersihkan kotoran,
menghilangkan noda dan bercak
yang melekat
aku harus mencuci otakku, kukira
dari wabah virus corona ini
yang sedang gencar-gencarnya
memporanporandakan dunia
dunia nyata maupun dunia imajinasi
dari penduduknya yang gelisah
aku harus mencuci otakku, kukira
dari segenap kesalahan yang mungkin saja
telah diperbuatnya
dari penderitaan masyarakat bawah
yang terpangkas rejekinya akibat social distancing
dari kepanikan masyarakat menengah - atas
membayangkan akan kelaparannya
yang bakal membuat hidup kian susah lagi merana
dari pikiran membebaskan 30.000 napi kriminal
di penjara-penjara, hanya untuk maksud
yang sangat mudah dibaca: ketakutan para koruptor
mati terasing di kandang mewahnya - jeruji
yang tak bakal membawa kehormatan dirinya.
aku harus mencuci otakku, kukira
untuk tegar membelah semangat
para pejuang yang menjaga nyawa banyak orang
dan menebar kebangggaan
di tengah peralatan serba kekurangan
dokter, perawat, para relawan medika,
orang-orang yang mengasihi dan
berjuang menjaga hidup kemanusiaan
aku harus mencuci otakku, kukira
menjaga semangat dan bersemangat berjaga
jarak yang tak menimbulkan fitnah yang telah begitu
gencar mengisi banyak informasi, bertebaran,
kalap memahami “makna” wabah
aku harus mencuci otakku, kukira
bukan dengan segala benda-benda itu, bukan
sebagai pengetahuan, perselisihan, perdebatan
yang mengandung pembenaran takliq,
pengutipan doktrin manusia
aku akan bergembira mencuci otakku
bukankah shalat dan cinta, takkan terterima
ketika suci jadi permainan mata.//
Corona adalah juga teguran seperti ditulis Sahaya Santayana dalam “Surat Jarak Jauh” atau yang ditulis Beti Novianti sebagai “Tamu TakDiundang”. Sedangkan Abidi Al-Ba'arifi Al-Farlaqi menulis corona sebagai “Para Tamu dan Isi Cawan Takdir.” Sebaliknya Heru Patria menulis“Corona Adalah Tamparan Tuhan.”
Dalam perenungan itu penyair A.Zainuddin Kr, menulis “Dari Corona Kita Menemukan Tuhan.“. Penyair Soei Rusli mengatakan corona sebagai “Pemutus Takdir”. Akhirnya dan sebetulnya betapa Tuhan masih sayang kepada kita semua seperti ditulis Supriyadi Bro, “Kasih Tuhan Pada Hambanya. Dan masih banyak penyair lain dengan aneka ragam peristiwa di masa corona”.
Tentu masih banyak puisi-puisi indah dalam antologi ini yang mengundang apresiasi dan enak dibaca. Sungguh pun demikian tak elok jika apresiasi berupa ulasan disampaikan dalam buku ini. Penyair-penyair dalam antologi Corona ini ternyata memiliki kekhasannya tersendiri dari masing-masing pemilik jiwa sang penyair. sebagai penutup ulasan buku ini penulis suguhkan mantra puisi karya Wardjito Soeharso. Penyair asal Semarang ini justru membuat jampi-jampi agar pagebluk ini segera berakhir. Dalam bahasa jawa Wardjito mencoba jampi-jampi ini. Sebuah puisi yang membuat pesona luar biasa jika dibaca di panggung terbuka. Berikut puisinya :
Japa Mantra
//Bolading!
Klambi abang
Bendho gowang.
Jalitheng!
Jun jilijijethot
Wong Tapang asli
Cempe-cempe!
Undangna barat gede
Tak opahi duduh tape
Weerrr.....weeeerrrr....
Weeeeeerrrrrr....
Setan ora doyan
Penyakit ora ndulit
Wabah ora temah
Amung kersane Gusti Allah
Corona...
Minggaaaaaatttt!//
(Rg Bagus Warsono, Sastrawan dan Kurator Buku tinggal di Indramayu)