Karena saya jatuh cinta sama teman sekolah , Khalid Alrasyid
No. 014
Khalid Alrasyid
Karena saya jatuh cinta sama teman sekolah , Khalid Alrasyid
Menjadi penyair bukanlah mimpi yang saya idamkan juga bukan sekadar gaya-gayaan agar menjadi terkenal, percuma terkenal tapi kere, dan sudah jadi rahasia umum bahwa penyair itu adalah salah satu makhluk berjenis manusia kere dari sekian banyak jenis manusia yang kere. Tapi ada alasan yang lebih besar kenapa saya jadi penyair (walau sebenarnya saya tidak pantas untuk disebut penyair.
Riwayat kepenulisan saya berawal sejak kelas 6 SD ketika menjadi juara 3 lomba mengarang tingkat kecamatan. Hal yang sangat membanggakan tentu membawa harum nama sekolah saat itu, dan seakan-akan berada dalam dimensi waktu yang lain/ Memasuki jenjang SMP saya mulai mengenal puisi, saya sangat kagum dengan puisi Chairil Anwar "Pangeran Diponegoro," dari situ saya mengulik tentang Chairil di berbagai surat kabar dengan nongkrong di abang-abang penjual majalah sepulang sekolah, kebetulan bapak Bapak saya saat itu Berlanggan koran Jawa Pos yang memuat banyak karya sastra, sehingga banyak mengenal para penyair lain, semisal; D Zawawi Imron, Sosiawan Leak, Sapardi dll …
Menginjak SMU saya mulai intens menulis puisi dan mengikuti lomba baca puisi karena banyak referensi yang saya dapat di perpustakaan sekolah. Awal saya menulis puisi karena saya jatuh cinta sama teman sekolah namun tak pernah saya ungkapkan, dan sering dimuat di Majalah Pena sehingga semakin antusias dalam menulis dan berlanjut hingga sekarang.
Lalu apa alasan besarnya? Iya, sebagai seorang Prajurit yang sudah melanglang buana dari Sabang sampai Merauke, dari We sampai Miangas saya melihat banyak hal yang sangat menyentuh nurani, berbagai ketimpangan sosial seolah memanggil jiwa saya untuk tetap menulis puisi walau sudah beberapa kali mencoba untuk tidak. Karena ada kenikmatan sendiri ketika uneg-uneg dalam hati terlunasi dalam sebuah tulisan. Berbagai pengalaman penugasan di wilayah konflik, seperti Ambon dan Sampit serta bencana tsunami Aceh, gempa Nabire dll semakin membuka mata dan batin saya untuk mengabadikan dalam puisi, karena saya menemukan kebersamaan antara Puisi dan Tentara yaitu "Jiwa". Tidak semua orang mempunyai jiwa tentara, walau itu seorang tentara dan tidak semua orang mempunyai jiwa penyair walau itu seorang penyair. Dan yang perlu digaris bawahi saya bersyukur tidak menjadi penyair kere karena sebagai seorang TNI sudah mendapatkan kebutuhan yang cukup walau kadang kembang kempis dengan berbagai kebutuhan yang semakin mahal.