Buah Rindu, Amir Hamzah

**Buah Rindu, **

Amir Hamzah**

**Dikau sambur limbur pada senja
dikau alkamar purnama raya
asalkan kanda bergurau senda
dengan adinda tajuk mahkota.

Dituan rama-rama melayang
didinda dendang sayang
asalkan kandaa selang-menyelang
melihat adinda kekasih abang.

Ibu, seruku ini laksana pemburu
memikat perkutut di pohon ru
sepantun swara laguan rindu
menangisi kelana berhati mutu.

Kelana jauh duduk merantau
di balik gunung dewala hijau
di Seberang laut cermin silau
Tanah Jawa mahkota pulau

Buah kenanganku entah ke mana
lalu mengembara ke sini sana
haram berkata sepatah jua
ia lalu meninggalkan beta.

ibu, lihatlah anakmu muda belia
setiap waktu sepanjang masa
duduk termenung berhati duka
laksana Asmara kehilangan seroja.

Bonda waktu tuan melahirkan beta
pada subuh kembang cempaka
adakah ibu menaruh sangka
bahawa begini peminta anakda?

Wah kalau begini naga-naganya
kayu basah dimakan api
aduh kalau begini laku rupanya
tentulah badan lekaslah fani.

Secara keseluruhan Amir telah menulis lima puluh puisi, delapan belas potongan puisi prosa, dua belas artikel, empat cerita pendek, tiga koleksi puisi, dan satu buku karya asli. Dia juga menerjemahkan empat puluh empat puisi, satu bagian dari puisi prosa, dan satu buku;Johns menulis bahwa terjemahan ini umumnya mencerminkan tema penting dalam karya-karya aslinya.


*Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra Poetera atau lebih dikenal hanya dengan nama pena Amir Hamzah (28 Februari 1911 – 20 Maret 1946)[a] adalah sastrawan Indonesia angkatan Poedjangga Baroe dan Pahlawan Nasional Indonesia. Lahir dari keluarga bangsawan Melayu Kesultanan Langkat di Sumatera Utara, ia dididik di Sumatra dan Jawa. Saat berguru di SMA di Surakarta pada sekitar 1930, Amir muda terlibat dengan gerakan nasionalis dan jatuh cinta pada teman sekolahnya, Ilik Soendari. Bahkan setelah Amir melanjutkan studinya di sekolah hukum di Batavia (sekarang Jakarta) keduanya tetap dekat, hanya berpisah pada 1937 ketika Amir dipanggil kembali ke Sumatra untuk menikahi putri sultan dan mengambil tanggung jawab di lingkungan keraton. Meskipun tidak bahagia dengan pernikahannya, dia memenuhi tugas kekeratonannya. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 1945, ia menjabat sebagai wakil pemerintah di Langkat. Namun, pada tahun pertama negara Indonesia lahir, ia meninggal dalam peristiwa konflik sosial berdarah di Sumatra yang disulut oleh faksi dari Partai Komunis Indonesia dan dimakamkan di sebuah kuburan *