Ada Transcendental Pada Puisi Sutardji Calzoum Bachri di Mata Wawan Hamzah Arfan oleh Rg Bagus Warsono

Ada Transcendental Pada
Puisi Sutardji Calzoum Bachri
di Mata Wawan Hamzah Arfan
Pada tahun 2022 ini penulis (aku) diminta oleh seorang penyair untuk menelaah kembali sebuah skripsi yang telah ditulisnya 22 tahun lalu ketika penyair itu mengajukan sidang Sarjananya di Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Swadaya Gunung Djati Cirebon. Tentu saja harus mengorek-orek mencari arsip skripsi tersebut yang juga tersimpan 22 tahun berlalu bersama buku-buku lain.
Penulis ceritakan ini sekedar bermaksud bahwa apa yang ditulis seseorang dan terkubur memiliki kekuatan (nyawa) untuk dibuka oleh pembaca di suatu saat. Ternyata Skripsi itu bukan sembarang skripsi sekedar syarat memenuhi gelar kesarjanaan tetapi juga nilai sejarah sastra negeri ini.
Pertama adalah bahwa tulisan skripsi yang ditulis oleh Wawan Hamzah Arfan ini membuktikan bahwa seseorang yang meneliti karya orang lain (Wawan Hamzah Arfan) dan karya orang lain berupa objek sorotan dalam skripsi itu yaitu puisi-puisi karya Sutardji Calzoum Bachri sama-sama memiliki nyawa sebagai dokumen sastra Indonesia.
Belumlah penulis membuka buku skripsi dengan judul " Nilai Religi Dalam Puisi Sutardji Calzoum Bachri Pasca-0, Amuk, Kapak penulis bisa memastikan bahwa judul ini belum ditulis oleh orang lain sebelumnya atau mahasiswa sebelumnya atau kalangan akademika sebelumnya karena memang judul yang tidak mirip atau memiripkan dengan judul lain. Meski penulis bukan seorang dosen atau orang yang berkecipung dalam dunia akademika tetapi penulis dapat merasakan bahwa skripsi yang ditulis oleh Wawan Hamzah Arfan ini memiliki nilai yang tinggi bagi kesusastraan Indonesia.
Setiap penulis, penyelia, kutrator, atau peneliti atas penemuan baru atau apa pun sebutannya memiliki teknik sendiri-sendiri dalam membuka apa yang ditelitinya. Di samping membaca hingga tamat juga mempelajari biografi dan latar belakang terjadinya penulisan itu serta seluk beluk lain.
Sebagaimana judul Skripsi Nilai-Religi Dalam Puisi Sutardji Calzoum Bachri Pasca-O, Amuk, Kapak itu tentu kata Nilai Religi dengan cepat menjadi sorotan utama buku ini. Dimana nilai religi itu? yaitu terdapat dalam puisi Sutardji Calzoum Bachri dalam kumpulan sajak O Amuk Kapak terbitan Sinar Harapan tahun 1981 itu.
Tampaknya Wawan Hamzah Arfan tidak menyoroti perkembangan sastra atas kemunculan O Amuk Kapak tetapi lebih kepada unsur intrinsik terhadap puisi-puisi Sutardji.
Sebagaimana perkembangan puisi pada saat itu antologi O, Amuk, Kapak sebetulnya berasal dari judul tiga kumpulan sajak yang digabungkan menjadi satu antologi , yakni O (1966—1973), Amuk (1973—1976), dan Kapak (1976—1979).
Terhadap kehadiran sajak-sajak yang terkumpul dalam buku itu Dami N Toda , Kritikus sastra Indonesia (1977) memuji karya Sutardji Calzoum Bachri, Ia menyatakan bahwa selama 30-an tahun itu, tidak ada yang menantang wawasan estetika persajakan Chairil Anwar.
Tahun 1972, di Bandung, Sutardji Calzoum Bachri, yakni O (1966—1973) menyodorkan sajak-sajaknya yang memberi makna bahwa kata dalam sajak tidak terbelenggu atas sajak-sajakyang pernah ada ( karya-karya Chairi pada daat itu) sehingga kehadiran 0 tahun 1973 itu sebagai penanda kehadiran sajak- sajak baru tanah Air dengan estetika baru yang mengulangi masa keemasan Chairil Anwar.
Apa yang disampaikan Dani N Toda itu beda sekali dengan apa yang disorotoi Wawan Hamzah Arfan terhadap karya Sutardji Calzoum Bachri itu.
Dalam Pengakuan Wawan Hamzah Arfan menilai bahwa Dami N Toda membesarkan Sutardji lewat O, Amuk, Kapak. Dan Wawan Hamzah Arfan Pun menurunkan tulisannya di Surat Kabar mengulas O, Amuk, Kapak bukan puisi religi, karena bahasanya bukan untuk konsumsi manusia.
Dan reaksi atas tulisan di koran itu, Wawan Hamzah Arfan pada saat itu menerima banyak kecaman dimana saat itu hampir semua penulis sastrawan membela Sutardji. Namun sesuatu yang patut mendapat pujian dari masyarakat sastra adalah Wawan Hamzah Arfan menjadikannya pembicaraan puisi itu dalam skripsi kesarjanaannya. Wawan Hamzah Arfan pun sempat menanyakan apakah orang-orang yang pada waktu itu membela Sutardji mati-matian, pernah berbuat seperti saya mengabadikan karya Sutardji lewat Skripsi.
Berangkat dari perubahan perubahan puisi yang terjadi dalam karya Sutardji Calzoum Bachri itu Wawan Hamzah Arfan melihat adanya transendental yaitu sesuatu yang berhubungan dengan transenden atau sesuatu yang melampaui pemahaman terhadap pengalaman biasa dimana terdapat dalam puisi pasca O, Amuk, Kapak, kumpulan puisi (1981) seperti yang ditulis dalam puisi berjudul Idul Fitri dan 8 puisi lainnya yang termasuk dalam penelitian. Lewat puisi-puisi itu Sutardji Calzoum Bachri mengakui perjalanan hidup sebelumnya seperti dalam sajak-sajak O, Amuk, Kapak, kumpulan puisi (1981). Alasan Wawan Hamzah Arfan tentunya sangat mendasar dimana puisi-puisi Sutardji yang diketengahkan oleh Wawan Hamzah Arfan menunjukan sesuatu gambaran yang transenden bertentangan dengan dunia material.
Ungkapan "Kredo Puisi" yang dibanggakan Sutardji dengan tegasnya menyatakan bahwa kata-kata harus terbebas dari pengertian dan beban ide. Dan Kredo Puisi ini yang mendapat banyak pujian dan dukungan seakan perubahan baru dalam perpuisian Indonesia yang di mana apa yang oleh Chairil Anwar , angkatan 45, dengan anggapan semua harus belajar dari barat dihantam oleh Sutardji. Dengan Kredo Puisi-nya Sutardji Calzoum Bachri memberikan pemahaman pembaca bahwa kata-kata harus terbebas dari pengertian dan beban ide. Namun kemudian dari Skripsi Wawan Hamzah Arfan, Suratdji pun tak bertahan atas idenya yang cemerlang itu dengan perubahan-perubahan pada karya puisi Sutardji sendiri yang seakan merubah sikap kepenyairannya. Tentu saja apa yang dilihat Wawan Hamzah Arfan tidak banyak publik mengetahui mengingat disampaikannya pemaparan itu dalam skripsi kesarjanaannya.
Pada akhir skripsinya Wawan Hamzah Arfan menggarisbawahi bahwa pada pasca -0 . Amuk, Kapak puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri telah berubah dengan perpaduan dimensi sosial dan dimensi tansendental sehingga puisi-puisi pada pasca -0 , amuk , Kapak itu tampak Sutardji begitu memaknai diri sebagai makhluk Sosial dan makhluk spiritual. Disinilah nilai skripsi Wawan Hamzah Arfan berhasil memberi apresiasi penilaian atas karya sastra penyair kita Sutardji Calzoum Bachri. (Rg, Bagus Warsono, kurator sastra di Lumbung Puisi)