85.Radar Panca Dahana
85.Radar Panca Dahana, Radhar lahir di Jakarta, 26 Maret 1965. Nama Radhar merupakan akromim dari nama kedua orang tuanya: Radsomo dan Suharti. Ia anak kelima dari tujuh bersaudara yang seluruhnya juga mempunyai nama depan Radhar. Julukan yang disandang Radhar Panca Dahana sangatlah beragam. Ia dikenal sebagai esais, sastrawan, kritikus sastra, dan jurnalis. Ia pun bergiat sebagai pekerja dan pengamat teater. Puluhan esai, kritik, karya jurnalis, kumpulan puisi, naskah drama, pertunjukan teater, dan beberapa buku tentang teater telah dihasilkannya. Kehidupan masa kecilnya sangat keras. Ayahnya yang pernah difitnah sebagai penyokong komunis mendidik anak-anaknya dengan disiplin yang tinggi, bahkan cenderung otoriter. Menurut Radhar, sejak kecil ia dan saudara-saudaranya sudah diajari berhitung angka hingga jutaan, pulang ke rumah harus tepat waktu, dan senantisa belajar kapan pun. Hukuman yang diterima jika melanggar aturan adalah sabetan rotan. Selain itu, seluruh anak lelaki dikuncung, digundul dengan disisakan sedikit rambut di ujung kepalanya.
Dari semua saudaranya, hanya ia yang kerap membangkang dan mendapat hukuman yang sangat keras. Ketidakcocokan cita-cita antara orang tuanya dan dirinya, yaitu orang tuanya mengharapkan dirinya menjadi pelukis, sedangkan ia sangat menyukai teater dan karang-mengarang, dan karena sering pula disakiti secara fisik membuat Radhar, pada akhir tahun 1970, sering pergi dari rumahnya, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Tempat favorit yang ditujunya adalah kawasan Bulungan, tempat yang kemudian membentuk pribadinya seperti yang dikenal saat ini.
Radhar Panca Dahana memang dianugerahi bakat menulis. Ketika masih duduk bangku kelas lima sekolah dasar, ia sudah mampu menulis sebuah cerita pendek “Tamu Tak Diundang.” Radhar mengirimkannya ke harian Kompas dan dimuat. Pada saat duduk di bangku kelas dua SMP, ia menjadi redaktur tamu majalah Kawanku. Selama beberapa bulan, ia membantu menyeleksi naskah cerpen dan puisi yang masuk. Ia mulai mengarang cerita pendek, puisi, dan membuat ilustrasi ketika duduk di kelas tiga SMP. Beberapa karyanya, di antaranya, dimuat di majalah Zaman, yang waktu itu redakturnya adalah Danarto. Radhar menyamar jati dirinya dengan nama Reza Morta Vileni. Nama samaran itu diilhami oleh nama teman sekolahnya, Rezania, yang piawai berdeklamasi.
Saat sekolah SMA di Bogor ia juga sempat bergabung dengan Bengkel Teater Rendra. Namun, Radhar berselisih dengan Rendra mengenai manajemen grup. Akhirnya, ia mengundurkan diri. Ia menuruti anjuran Anto Baret untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Harapannya diterima di Studi Ekonomi Pembangunan, Universitas Pajajaran, gagal. Ia diterima di sosilogi, UI. Mata kuliahnya diselesaikan dalam waktu 2,5 tahun. Teater dan kerja jurnalistik kembali menggodanya sehingga ia tidak acuh pada tata adminitrasi di kampusnya. Saat ia akan pergi ke Prancis, barulah ia mengurus masalahnya itu.
Tahun 1997, Radhar melanjutkan studi di Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales, Prancis, dengan meriset postmodernisme di Indonesia. Baru setahun, Radhar pulang ke Indonesia dan membatalkan fasilitas studi yang harusnya mencapai tingkat doktoral. Alasannya, “Aku tak kuat menahan diri. Sementara aku hidup enak di sini, di negeriku orang-orang hidup dalam teror.” Pada waktu itu di Indonesia sedang terjadi kekacauan politik dan ketidakstabilan keamanan akibat tergulingnya Suharto dari kursi presiden.
Sepulang dari Prancis, Radhar mengalami stres berat. Ia divonis gagal ginjal kronis, acute renal failure dan cjronic renal failure, pembunuhan sel ginjal secara perlahan. Dua buah ginjalnya dinyatakan sudah mati. Hingga hari ini, tiada hari yang ia lewati tanpa gangguan 2-3 penyakit dari sekitar 15 penyakit baru yang dapatkan setelah cuci darah. Pencapaiannya saat ini adalah mengelola rubrik “Teroka” di harian Kompas, memimpin Federasi Teater Indonesia, Bale Sastra Kecapi, dan Teater Kosong yang ia dirikan serta pengajar di Universitas Indonesia. Kini, Radhar Panca Dahana menetap di Tangerang bersama istri dan seorang anaknya.
Ketika Arswendo Atmowiloto membuat Koma (Koran Remaja) pada akhir 1970-an, Radhar turut terlibat sebagai reporter dan menandai kiprahnya sebagai jurnalis. Ia mencantumkan nama aslinya Radhar sebagai reporter dan Reza sebagai penata artistik. Pada periode itu produktivitasnya mengarang cerpen remaja sangat tinggi. Waktu itu terbit berbagai majalah kumpulan cerpen di Jakarta, seperti Pesona dan Anita, menjadi tempat penampungan karyanya. Cerpen Radhar Panca Dahana kala itu juga mengisi media massa cetak, seperti majalah remaja Gadis, Nona, dan Hai, bahkan, majalah dewasa, seperti Keluarga, Pertiwi, dan Kartini.
Karier Radhar sebagai jurnalis pemula semakin berkembang ketika ia diterima bekerja di harian Kompas. Valens Doy, wartawan senior berpengaruh, menempatkannya sebagai pembantu reporter atau reporter lepas. Ia diminta menulis rubrik apa saja: olahraga, kebudayaan, pendidikan, berita kota tentang kriminalitas, dan hukum. Akan tetapi, pekerjaannya sebagai jurnalis terhenti saat orang tuanya tidak mengizinkannya bekerja. Radhar harus kembali ke bangku sekolah. Pendidikan SLTA-nya (melalui SMA 11 Jakarta, SMA 46 Jakarta, dan sebuah SMA di Bogor) dihabiskan dalam waktu enam tahun. Menurutnya, hal itu adalah buah dari kekecewaannya karena tidak diizinkan bekerja oleh orang tuanya. Sejak SD, wataknya yang memberontak dan ingin “menguasai” publik membuatnya tidak disukai oleh teman-temannya.
Di SMA, ia kerap bertengkar dengan guru dan menolak sistem sekolah. Hal itu tidak mengherankan karena Radhar yang senang membaca buku berat, seperti pemahaman Ivan Illic tentang formalisme pendidikan dalam Bebas dari Sekolah dan pemikiran Paulo Freire dalam Pendidikan Kaum yang Tertindas, tanpa mencernanya. Radhar Panca Dahana saat itu dekat dengan Noorca M. Masardi, Anto Baret, dan W.S. Rendra. Ketiga orang itulah yang membantunya dengan memberi nasihat mengenai apa yang patut diperbuatnya.
Radhar Panca Dahana terpilih sebagai satu di antara lima seniman muda masa depan Asia versi NHK (1996). Ia juga pernah meraih Paramadina Award (2005), serta menjadi Duta Terbaik Pusaka Bangsa dan Duta Lingkungan Hidup (sejak 2004). Pada tahun 2007 ia menerima Medali Frix de le Francophonie 2007 dari lima belas negara berbahasa Prancis. (*)
Diolah dari sumber Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. © Badan Bahasa, Kemdikbud.